Adab Dzikir Sufi

Posted by Unknown Senin, 30 Desember 2013 0 komentar
Untuk melaksanakan dzikir di dalam thariqah ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni Adab Berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada fasal Adabudz-dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syekh Abdul Wahab Sya'rani.ra bahwa adab berdzikir itu banyak, tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum berdzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir dan 3 (tiga) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.

Adapun 5 (lima) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;

  • Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya baik yang berupa ucapan, perbuatan maupun keinginan.
  • Mandi dan atau wudlu.
  • Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam berdzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan La ilaaha illallah.
  • Menyaksikan dengan hatinya -ketika sedang melaksanakan dzikir ­terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
  • Meyakini bahwa dzikir thariqah yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah na-ib (pengganti) dari beliau.

Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan di saat melakukan dzikir adalah;

  • Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat.
  • Meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua pahanya.
  • Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula pakaian di badannya.
  • Memakai pakaian yang halal dan suci.
  • Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
  • Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.
  • Membayangkan pribadi guru mursyidnya di antara kedua matanya. Dan ini menurut Para ulama thariqah merupakan adab yang sangat penting. (rabithah)
  • Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) ataupun ramai (banyak orang).
  • Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan, seorang yang berdzikir akan sampai pada derajat Ash-Shiddi’qiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbersit didalam hatinya -berupa kebaikan dan keburukan­ kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti ia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan batiniyah).
  • Memilih shighot dzikir bacaan Laa ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar'i lainnya.
  • Menghadirkan makna dzikir di dalam hatinya.
  • Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata ”illallah” terhujam di dalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;

  1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu' dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzikr. Para ulama thariqah berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar daripada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
  2. Mengulang-ulang pernafasannya berkali-kali. Karena hal ini -menurut para ulama thariqah- lebih cepat menyinarkan bashi'rah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
  3. Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat) di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/Allah yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.

Para Guru Mursyid berkata: "Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tatakrama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan itu." Wallahu a’lam.

Keterangan:

Himmah para syaikh/guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.

Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thariqah satu dengan lain-nya, bahkan antara satu mursyid dengan lainnya dalam satu aliran thariqah. Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk didalam shalat (tawarruk dan iftirasy), ada yang dengan tawarruk dibalik artinya kaki kanan yang dimasukkan dibawah lutut kiri, ada yang dengan duduk murobba' (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat dibai’at oleh mursyidnya. Oleh karena itu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru mursyidnya masing-masing.


Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim disebut "rabithah" atau "tashawwur" bagi seorang murid thariqah. Hal tersebut lebih berfaidah clan lebih mengena daripada dzikirnya itu. Karena syaikh adalah washillah/ perantara untuk wushul ke hadirat Sang Maha Haq 'azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah-anugerah dalam bathiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu dia akan sampai pada fana'/lebur pada Allah ta'ala. Wallahu a'lam.


Yang dimaksud dengan waridudz-dzrkr adalah adalah segala sesuatu yang datang/muncul di dalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.


Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/

Baca Selengkapnya ....

Dzikir Kaum Sufi

Posted by Unknown Sabtu, 28 Desember 2013 0 komentar
Yang dimaksud dzikir di dalam thariqah adalah bacaan "Allah" atau bacaan "Laa ilaaha illallah". Dzikir dengan bacaan 'Allah'; yang biasanya dilakukan didalam hati, disebut dengan Dzikir Sirri atau Dzikir Khofi atau Dzikir Ismuz-Dzat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sedang dzikir dengan bacaan 'Laa ilaaha illallah'; yang biasanya dilakukan secara lisan , disebut Dzikir jahri atau Dzikir Nafi Itsbat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah. Kedua jenis dzikir dari kedua sahabat inilah yang menjadi sumber utama pengamalan thariqah, yang terus menerus bersambung sampai sekarang, kepada kita semua.


Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir "Laa ilaaha illallah" dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya. Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW (Silsilah/Mata Rantai). Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin/Ba'iat dan ta’lim (belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqoh, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan faedah yang sempurna, kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.

Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai'at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai'at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai'at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai'at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai'at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari'at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukannya kepada jama'ah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW telah mentalqin para sahabatnya, baik secara berjama'ah maupun perorangan.

Adapun talqin Nabi SAW kepada para sahabatnya secara jama'ah sebagaimana diriwayatkan dari Syidad bin Aus RA: "Ketika kami (para sahabat) berada di hadapan Nabi SAW, beliau bertanya: "Adakah di antara kalian orang asing?" (maksud beliau adalah ahli kitab), aku menjawab: "Tidak." Maka beliau menyuruh untuk menutup pintu, lalu berkata: "Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah!" Kemudian beliau melanjutkan: "Alhamdulillah, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini (La ilaaha ilallah), Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku surga karenanya. Dan sungguh Engkau tidak akan mengingkari janji." Lalu beliau berkata: "Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian."

Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwany dengan sanad yang sahih bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, tunjukkan aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi para hambaNya dan yang paling utama di sisiNya!" Maka beliau menjawab: "Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah Laa illaaha illallaah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada diatas daun timbangan dan Laa illaaha illallaah diatas daun timbangan satunya, maka akan lebih beratlah ia (Laa illaaha illallaah),"  lalu lanjut beliau: "Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi masih ada orang yang mengucapkan kata Al­lah." Kemudian Sahabat Ali berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut Allah?," Beliau pun menjawab: "Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya." Kemudian Nabi SAW mengucapkan Laa ilaaha illallah tiga kali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu Sahabat Ali bergantian mengucapkan Laa illaaha illallaah seperti itu dan Nabi SAW mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (Laa illaaha illallaah).

Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa menggerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadh Ismudz-Dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW dengan sabdanya: "Qul Allah tsumma dzarhum" (Katakan "Allah" lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-­Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA) yang mengambilnya secara batin dari Al-Mushthofa SAW. Inilah dzikir yang bergaung mantap di hati Abu Bakar. Nabi SAW bersabda: "Abu Bakar mengungguli kalian bukan dikarenakan banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap di dalam hatinya." Inilah dasar talqin dzikir sirri.

Semua aliran thariqah bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada Sayyidina Ali karramallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka kedua beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang. Nabi SAW mentalqin kalimah thoyyibah ini kepada para sahabat radliallahu 'anhum untuk membersihkan hati mereka clan mensucikan jiwa mereka, serta menghubungkan mereka ke hadirat Ilahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni. Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimat thoyyibah ini atau Asma-asma Allah lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali apabila si pelaku dzikir menerima talqin dari syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim terhadap makna Al-Qur'an dan syari’ah, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam hal 'aqidah dan ilmu kalam, dimana syekh tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikh agung yang satu dari syaikh agung lainnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Sumber :https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

Thariqah Jalan Menuju Husnul Khatimah

Posted by Unknown Kamis, 26 Desember 2013 0 komentar

I. Pengertian Thariqah.

Arti Thariqah menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui "cara" melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thariqah adalah mencari kebenaran, maka cara melinta­sinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.

Sekitar abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah lahirlah kelompok-kelompok dengan metoda latihan berintikan ajaran "Dzikrullah". Sumber ajarannya tidak terlepas dari ajaran Rasulullah SAW. Kelompok-kelompok ini kemudian me­namakan dirinya dengan nama "Thariqah", yang berpredikat/bernama sesuai dengan pem­bawa ajaran itu. Maka terdapatlah beberapa nama antara lain :

a. Thariqah Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).

b. Thariqah Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.

c. Thariqah Naqsabandiyah : pembawa ajaran­nya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.

d. Thariqah Rifa'iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa' i q.s.


dan masih banyak lagi nama-nama Thariqah yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :

Artinya :

"Jika mereka benar-benar istiqomah - (tetap pendirian/terus-menerus diatas Thariqah (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah-­limpah.(Q.S. Al-Jin : 16)


Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thariqah berpendapat dari jumlah Thariqah yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thariqah yang Mu'tabaroh (diakui) dan ada pula Thariqah Ghairu Mu'tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya).

Seseorang yang menganut/mengikuti Thariqah tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.

Dalam menempuh jalan (Thariqah) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".

Maka cukup jelaslah bahwa Thariqah itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)



Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.

Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS Ar-Ra’d ayat 28)


Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya  dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.

Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :

Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (per­orangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedeka­tan dengan Tuhan.

Kedua : Thariqah sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Kedudukan Guru Thariqah diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad). Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thariqah digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.

Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thariqah adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thariqah yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.

II. Jalan menuju wushul ilallah

a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur'an tentang Muraqabah/pendekatan diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain :

186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).


Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an S. Al-Ahzab (33) : 52.

52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.

Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.

16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
Demikian juga petunjuk dari Al-Qur'an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.

4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.


Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihat­nya. Apabila engkau tak mampu meli­hat-Nya, yakinlah bahwasanya Allah meli­hatmu.
(HR. Bukhari-Muslim).


Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.

Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.

Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : "Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).

Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
  • Memiliki rasa malu yang positif.
  • Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
  • Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabul­kan
  • Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
  • Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur'an S. Yusuf (12) : 24.

24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.

b. Melalui Muhasabah


Muhasabah berarti orang selalu memi­kirkan, memperhatikan dan memperhitung­kan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.

18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :

  • Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mah­mudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari­-hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
  • Orang yang bermuhasabah, pasti mem­punyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.
  • Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, se­belum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.
  • Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.     

 c. Melalui Dzikir

Dzikir berarti ingat, mengingat, mere­nung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur'an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (men­tauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi 'aliylil 'adziem) dan lain sebagainya.

Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa'i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/ter­sendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara' menurut ketentuan Thariqah yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.

Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.

Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma'sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur'an.

Petunjuk Al-Qur'an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :

Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)

41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).


191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(Q.S. Ali-Imran : 191).


205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.
(S. Al-A'rof (7) : 205).

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (S. Ar-Ra'du (13) : 28).


Hadis-hadis Nabi :

Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).

Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabi­lillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, ke­mudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).

Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).

Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan mem­berinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)
Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi'i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).
Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia Thariqah, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian Thariqah itu sendiri sesuai petunjuk Mursyid­nya.


Ulama Thariqah membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
  1. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mula­mula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
  2. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.

    Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati membe­ritahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
     
  3. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasa­nya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya'rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.

Adapun juga ulama ahl-Tharigoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.

Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thariqah dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.

Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thariqah sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah­-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

Khirqah Pakaian Ala Sufi

Posted by Unknown Senin, 23 Desember 2013 0 komentar
Khirqah berarti pakaian, kain, atau sobekan kain baju. Sedangkan sebagai istilah, khirqah adalah cinderamata sebagai bentuk pensanadan dan pengijazahan dalam tarekat kesufian.

Kesufian atau tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, yang memiliki sanad yang bersambung hingga sang empu pembawa titah Ilahiyah, Rasulullah SAW. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci praktek tasawuf. Dengan demikian pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah SAW, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali.

Penggunaan istilah dengan penyebutan sesuatu yang berbentuk fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan, lambang, simbolisasi, dari tradisi ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun temurun dari guru ke murid,sebagai sanad.

Selain kata al-khirqah, istilah-istilah lain yang biasa digunakan di kalangan sufi adalah ar-rayah (bendera), al-hizam (sabuk), al-ilbas (pengenaan surban, jubah, peci, dan lainnya). Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda simbolis tersebut, melainkan kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.


Identitas yang Khas


Al-Imam Al-Hafizh As-Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq Al-Ghumari, mengutip perkataan Al’Allamah Al-Amir dalam Fahrasat-nya, mengatakan, khirqah, rayah, hizam, dan ilbas dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu, mujahadah an-nafs, dan menuntun umat untuk berpegang teguh pada ketentuan syari’at dan sunnah-sunnah Rasulullah SAW, baik secara zhahir maupun secara bathin. Karena itu dalam muqadimah risalah Ibn ‘Arabi, yang berjudul Nasab al-Khirqah, yang ditulis Al-Hafizh Al-Ghumari, ia mengutip perkataan Imam Malik saat ditanya pengertian ilmu bathin, ‘ilm al-bathin, “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir, maka Allah akan mewariskan kepadamu akan ilmu-ilmu bathin”.

Namun demikian lambang-lambang fisik diatas menjadi tradisi turun temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa diantaranya bersambung hingga Rasulullah SAW. Seperti sanad dalam memakai al-‘imamah as-sauda’, kain atau surban hitam yang dililit diatas kepala, secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat Ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tata cara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah SAW.

Lambang-lambang berupa fisik tersebut, selain memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri, juga menjadi semacam identitas yang khasdi kalangan kaum sufi. Al-khirqah, walau sebagai kata berarti hanya “sebuah pakaian”, bahan yang dipergunakan, cara pemakaian, dan lain-lainnya, memiliki kekhususan tersendiri.

Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka, yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.

Kemudian para ulama juga telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab yang dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang imam agung, sufi besar, Al- ‘Arif Billah Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakkan kaki-kaki mereka. Karena itu Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka, Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shufiyah.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan, di istinbathkan oleh  para ulama mujtahid dari Al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah SAW, dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf,pokok yang menjadi fondasinya adalah Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah SAW.

Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf, labs al-khirqah, yang bersambung hingga sampai kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri, yang diambil dari Amir Al-Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib KWH, yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah SAW.

Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut : Al-Junaid Al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri, Imam As-Sirri As-Saqthi, kemudian dari imam Ma’ruf Al-Kharkhi, dari Imam Dawud Ath-Tha’i, dari Imam Habib Al-‘Ajami, dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dari Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, dan terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sanad tasawuf ini disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Selain sanad diatas, terdapat juga sanad lain yang memperkuat kebenaran mata rantai Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dari pamannya, Imam As-Sirri As-Saqthi. Yaitu dari Imam Ma’ruf Al-Karkhi dari Imam Ali Ar-Ridha, dari ayahnya sendiri, Imam Musa Al-Kazhim, dari ayahnya sendiri Imam Ja’far Ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri, Imam Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya sendiri Imam Ali Zainal Abidin, dari ayahnya sendiri, Imam Al-Husain, dari ayahnya sendiri, Imam Ali bin Abi Thalib, dan terakhir dari Rasulullah SAW.

Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang shalih yang terlibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini, disamping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus juga sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan, al-muasharah wa al-liqa, antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Ali ibn Abi Thalib.

Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya al-muasharah wa al-liqa, antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Ali ibn Abi Thalib. Diantara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam Al- ‘Allamah Diya’uddin Ahmad Al-Witri Asy-Syafi’i Al-Baghdadi dalam kitabnya Raudlah an-Nadlirin. Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri bahwa Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Al-Hasan Al-Bashri adalah orang yang paling utama diantara yang mengambil pelajaran dari Ali bin Abi Thalib RA.” Kemudian Imam Al-Witri berkata bahwa, saat terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Imam Al-Hasan Al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan Al-Bashri saat itu adalah seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat  ‘Ali ibn Abi Thalib.

Memiliki Dasar yang Tsabit


As-Sayyid As’ad (w. 1016 H/1607 M), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendekberjudul At-Tasyarruf bi Dzikr Ahl ath-Tashawwuf, tentang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpilan tulisannya adalah, sekalipun ada beberapa penghafal hadits, huffazh al-hadits, mengingkari pertemuan antara Al-Hasan Al-Bashri dan Ali bin Abi Thalib, pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan huffazh al-hadits lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffazh al-hadits yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya, al- mutsbit muqaddam ‘ala an-nafi, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaidah-kaidah ilmu hadits.

Masih menurut Sayyid As’ad, nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah SAW sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini, sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW membawa sebuah baju hitam dengan pernak-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah SAW berkata, ”Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”

Semua sahabat terdiam sambil berharap mendapatkan baju tersebut.

Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Panggillah Ummu Khalid.”

Setelah Ummu Khalid datang, Rasulullah SAW memakaikan baju tersebut kepadanyaseraya berkata, “Pakailah semoga banyak memberikan manfaat bagimu.”

Setelah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat pada pernak-pernik warna kuning dan warna merah pada baju tersebut, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Ummu Khalid, ini adalah pakaian yang indah.”

Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat Ali bin abi Thalib dan sahabat Umar bin Al-Khaththab memakaikan khirqah kepada Uwais Al-Qarni. Sebagaimana dikatakan Imam Asy-Sya’rani berikut ini, “Uwais Al-Qarni telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat Umar bin Al-Khaththab dan memakai selendang (ar-rida’) dari sahabat Ali bin Abi Thalib.”

Kesimpulan dari ini semua, khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit, kuat, dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah adalah para imam yang agung dari umat ini. Adapun bahwa beberapa huffazh al-hadits mengingkari nasab al-khirqah, yang dimaksud adalah terbatas pada sanad pengijazahan jubah (al-jubah) dan peci (ath-thaqiyah).Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas pada dua benda tersebut.

Seperti khirqah kaum Tarekat Ar-Rifa’iyyah, yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum Ar-Rifa’iyyah itu adalah imamah, kain atau surban yang dililitkan pada kepala, yang berwarna hitam, al-‘imamah al-sauda’, yang bersambung hingga Rasulullah SAW.

Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-‘imamah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah ditetapkan dalam kitab-kitab shahih, lalu Rasulullah SAW berkata di hadapan para sahabatnya, “Pakailah oleh kalian ‘imamah seperti ini.” Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur Al-Junaid dari As-Sirri dari Al-Karkhi dan seterusnya hingga Ali bin Abi Thalib RA.

Adapun dasar khirqah kaum Tarekat Rifa’iyyah yang berupa al-‘imamah as-sauda’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah SAW, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam Ath-Thabarani, dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat Ali bin Abi Thalib, “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah SAW memakaikan ‘imamah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda :

Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari Perang Badar dan Perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘imamah semacam ini.’ (Kemudian Rasulullah SAW juga bersabda) “Sesungguhnya ‘imamah adalah batas antara kekufuran dan keimanan.” (HR. Abu Musa Al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-‘Imamah dan oleh lainnya).

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

SANAD SYAIKH MAHFUZH DAN SYAIKH YASIN, BAROMETER KEILMUAN YANG MULAI DILUPAKAN

Posted by Unknown Minggu, 22 Desember 2013 0 komentar
Seorang ulama musnid sangat menjaga sanad ilmunya yang bersambung kepada guru-guru yang berada diatasnya, sebagaimana layaknya seseorang yang menjaga keluhuran nasab dengan leluhurnya yang mulia.

Mungkin sebagian penuntut ilmu pada masa kini punya pandangan bahwa mencari pengetahuan agama serta mendalaminya dapat melakukan secara instan. Banyak buku agama yang telah diterjemahkan, diringkas, dibahas secara tematis dan faktual. Begitu juga, dengan kecanggihan fasilitas teknologi dunia maya, untuk mengakses setiap pengetahuan agama tinggal klik. Seseorang yang ingin menambah pengetahuan agama dan mengetahui jawaban atas berbagai permasalahan agama tak perlu lagi bersusah payah mengaji kepada ulama untuk sekian lama, membuka kembali kitab-kitab turats ( khazanah klasik ) atau meminta petuah ulama.

Pandangan ini sepintas benar. Namun ada satu ungkapan yang termasyhur, Man kana kitabuhu ustadzuhu fadholaluhu aktsaru min famihi yang artinya “ siapa menjadikan kitab sebagai guru, ketersesatannya lebih banyak dari pemahamannya.” Maksudnya, meraih pengetahuan dengan sekedar mengandalkan buku bacaan, dikhawatirkan akan melibatkan seseorang kepada takwil atas teks yang tidak dimengertinya, yang lalu berimbas pada pengetahuan yang salah.

Keberadaan seorang guru yang kita kenal latar belakangnya sangat penting. Abdullah bin Umar RA, sebagaimana diriwayatkan Imam Ad Daylami, telah meriwayatkan secara marfu (sanadnya sampai kepada Nabi ) bahwasanya Rasulullah SAW berkata,”ilmu adalah din (agama) dan shalat adalah din. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu dan bagaimana kalian melaksanakan shalat tersebut. Sesungguhnya kalian akan ditanya pada hari kiamat.”

Sejatinya, pengetahuan lahir dari wahyu Allah Ta’ala disampaikan kepada Rasulullah SAW. Dari beliau, pengetahuan itu disampaikan kepada para sahabatnya. Dari para sahabat kepada para tabi’in. Selanjutnya, pengetahuan ini laksana tali-temali yang merangkai dari generasi ke generasi. Tidak keluar dari  hakikat pengetahuan yang disampaikan.

Dimasa tadwin al-‘ilm (kodifikasi ilmu) pada masanya, para penerima pengetahuan ini berijtihad sungguh-sungguh untuk memetakan seluruh pengetahuan keagamaan. Maka hadirlah funun (bidang) kelimuan diberbagai bidang yang termaktub sebagai khazanah dimasanya dan sebagai turats pada masa setelahnya. Para penerima pengetahuan ini mengkonsentrasikan penggalian pengetahuan ini sehingga mereka dikenal dengan sebutan ulama (kata jamak namun bermakna tunggal).

Konsentrasi para ulama ini tidak terlepas dari mata rantai pengetahuan yang mereka kuat, agar tidak terlepas dari hakikat ilmu tersebut. Mereka menjadi penyambung mata rantai pengetahuan itu dari waktu kewaktu lewat kitab syarah dan hasyiyah serta para murid mereka, yang kelak menggantikan peran nasyrul ulum wal ma’arif (pentransmisian ilmu dan pengetahuan) berkaitan dengan wahyu nan luhur itu

Inilah yang disebut dan dimaksud  dengan “silsilah sanad ilmu”. Ilmu agama bukan seperti pengetahuan umum, yang mengandalkan kerangka hipotesis, teori dan pengalaman empiris semata, sebagaimana dikaji dalam pandangan filsafat ilmu. Ilmu agama adalah suatu pengetahuan luhur dan sakral, yang hadir dari sisi Ilahi yang hanya dapat diperoleh teksnya, matannya, lewat jalur sanad. Seseorang yang memperoleh kelimuan agama semacam ini tidak saja mendapatkan pengetahuan tekstual, namun juga memperoleh ikatan ruhiyah dengan guru-guru yang mengajarkan pengetahuan tersebut. Inilah dasar pentingnya sanad dalam kelimuan, yang oleh kebanyakan orang tampaknya kini mulai dilupakan.

Betapa pentingnya sanad dalam ilmu, hingga Al Imam An Nawawi mengatakan, sebagaimana dikutip dari muqaddimah kitab Kifayah Al Mustafid, karya Al Musnid Syaikh Muhammad Mahfudz At Tarmusi (Tremas, Pacitan, Jawa Tengah), yang dita’liq dan ditashhih Al Musnid Syaikh Muhammad Yasin Al Fadani, “sesungguhnya sanad-sanad itu merupakan perkara yang penting yang musti dituntut, terutama oleh guru dan penuntut ilmu, untuk mengetahuinya. Ketidaktahuan akan hal itu adalah hal buruk bagi keduanya. Karena para guru manusia dalam menuntut ilmu adalah orang tuanya dalam hal agama, penyambung antara “ayah” dan “anaknya”  dan penyambungnya kepada Allah Rabbul ‘alamin.” Maka bagaimana tidaklah buruk kebodohan akan nasab (nasab pengetahuan agama) dan adanya hubungan dengan mereka, sedangkan mereka diperintahkan untuk mendoakan dan memuji  mereka sebagaimana seorang anak mendoakan dan memuji ayahnya tapi tidak mengenal dan dikenal ayahnya. Demikianlah nilai keluhuran sanad.

Mengingat betapa pentingnya sanad dalam ilmu, para ulama muhaqqiqin dan muhaditsin sangat menekankan keilmuan mereka dengan mengarang karya-karya yang menjelaskan  sanad keilmuan yang mereka terima langsung dari guru-guru mereka, yang dikenal dengan istilah karya tsabat  atau al atsbat. Istilah ini baku dikalangan ulama masyriq (Timur Tengah). Sedangkan kalangan ulama Maghribi (Maroko, Yordania,Afrika Utara dan kawasan barat Islam lainnya) menyebutkan Fahras atau faharis.

Bagi mereka, sanad tidak bedanya dengan nasab. Seorang ulama musnid sangat menjaga sanad ilmunya yang bersambung kepada guru-guru yang berada diatasnya, sebagaimana layaknya seseorang yang menjaga keluhurannasab dengan leluhurnya yang mulia.

Diantara sekian kitab turats yang mengetengahkan hal ini adalah karya Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at Tarmusi yang berjudul Kifayatul Mustafid dan tentunya karya-karya Musnid ad Dunya Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Keduanya ulama Nusantara berkaliber Internasional, yang termahsyur di Kota Suci Makkah dan diakui keilmuannya dikawasan Timur Tengah.

KIFAYATUL MUSTAFID

Banyak kalangan Azhariyyun (civitas academica Al Azhar Asy syarif, Kairo , Mesir) menilai, Syaikh Dr Rif’at Fauzi Abdul Muthalib adalah salah satu ulama musnid terkenal Mesir. Ulama yang perpustakaannya selalu terbuka. Untuk para pencari ilmu ini juga telah menyebutkan silsilah sanadnya untuk kitab Al Umm dan Ar Risalah hingga langsung bersambung kepada Imam Asy Syafi’i, yang ditahqiq dan ditakhrij hadits-haditsnya oleh Syaikh Rif’at.

Syaikh Rif’at, yang memiliki perpustakaan dkawasan Hayy Sabi’, Madinah An-Nashr, Kairo, sangat mengagumi kitab karya Syaikh Mahfudz Termas yang berjudul Kifayatul Mustafid. Ia memuji Syaikh Mahfudz dan mendorong para mahasiswa Indonesia diKairo untuk mengikuti jejak keilmuan Syaikh Mahfuzh.

Syaikh Mahfuzh at Tarmusi adalah nama yang lekat bagi para penuntut ilmu, khususnya yang mendalami ilmu sanad. Jalur periwayatannya mengakar kuat dikalangan ulama-ulama Jawa abad ke-19, yang notabene adalah murid-muridnya  di Makkah. Karya-karyanya pun banyak dan beragam. Diantaranya ialah kitab Manhaj Dzawin  Nazhar dalam ilmu Hadits, Nayl al-Ma’mul Hasyiyah ‘ala Ghayah al Wushul dalam ilmu ushul, Mawhibah Dzil Fadhl dalam ilmu hadits, Is’af al Mathali’ bi syarh Badrah al Lami’ dalam Hadits, Ghunyah ath Thalabah bi Syarh  ath Thaybah dalam ilmu Qiro’at dan masih banyak lagi.

Syaikh Mahfuzh at Tarmusi memang pantas untuk dikagumi, apalagi bagi kalangan ahli isnad, yang mengetahui dari siapa saja beliau memperoleh ilmu  dan dari kitab apa saja. Tidak hanya dalam bidang hadits, untuk kitab-kitab tafsir, fiqih, qira’at, nahwu-sharaf, akhlaq-tasawuf, bahkan sampai amalan        dzikir, semuanya berasal dari para ulama yang memiliki sanad yang bersambung hingga penulis kitab-kitab tersebut.

Dalam karyanya dibidang tsabat tersebut, yakni Kifayah al Mustafid, Syaikh Mahfuzh menyebutkan nama-nama kitab yang ia pelajari dari berbagai disiplin ilmu yang seluruh sanadnya bersinggah kepada penulisnya. Berikut ini cuplikan teks yang disebutkannya dalam karyanya tersebut.

Untuk pengetahuan terawal , ia menyebut ayahnya sebagai sosok utama dalam urutan sanad keilmuan. Dari ayahnya Syaikh Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmusi al-Jawi (1314H). Ia menuntaskan talaqqi (mengaji dengan bertatap muka) kitab Fath al Qarib Syarh al Ghayah wa Taqrib. Karya Ibn Qasim Al Ghuzzi, Al Manhaj Al Qawim, Fath al Mu’in, Syarh Minhaj, Syarh Asy Syarqawi, Tafsir Jalalain, sampai dengan pertengahan surah Yunus dan beberapa pengetahuan sastra dan ilmu alat serta lainnya.

Berikutnya Syaikh Mahfuzh menyebut nama Syaikh Muhammad Shalih bin Umar As Samarani (Semarang), yang ia mengambil darinya ijazah Tafsir Jalalain sebanyak dua kali, Syarh Asy-Syarqawi, Wasilah ath-Thullab dan Syarh Al Maradini dalam ilmu falak.

Syaikh Mahfudz kemudian menyebutkan guru-gurunya yang lain yang menjadi narasumbernya dan materi atau bidang apa saja yang ditekuninya, seperti kepada Syaikh Muhammad Al Minsyawi Al Muqri, ‘Allamah Syaikh Umar bin Barakat Asy Syami, Syaikh Musthafa bin Muhammad Al Afifi, Allamah Sayyid Ahmad Az Zawawi Al Maliki dan masih banyak lagi.

Untuk bidang tafsir, Syaikh Mahfuzh telah mengkaji beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Al Jalalain, yang adalah karya Imam Jalaluddin al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuthi, Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Baghawi, Tafsir Al Khathabi Asy Syarbini, juga Ad Durr al Mantsur, karya Imam As Suyuthi.

Semua kajian Syaikh Mahfuzh At Tarmusi terhadap kitab-kitab tersebut bersanad yang sampai kepada para penulisnya. Misalnya, sebagaimana dituliskannya, sanad Tafsir Jalalain dari permulaan sampai dengan surah Al Mu’minun diperolehnya dengan ijazah sanad dari Allamah Sayyid Abu Bakar Syatha’, dari gurunya Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dari gurunya, Syaikh Utsman bin Hasan Ad Dimyathi, dari gurunya Syaikh Abdullah bin Hijazi  Asy Syarqawi, dari gurunya Syaikh Muhammad bin Salim Al Hafani, dari gurunya Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Budairi, dari gurunya Syaikh abu Adh Dhiya’ Ali bin Ali Asy Syibramallisi, dari gurunya Syaikh Ali Al Halabi, dari gurunya Syaikh Ali Az Zayadi, dari gurunya Sayyid Yusuf Al Armayuni, dari guru dan penulis bahagian kedua dari bahagian Tafsir Jalalain, Al Hafizh As Suyuthi, dari Jalal al Mahalli. Dari rangkaian para guru ini pula ia berolah periwayatan kitab-kitab karya As Suyuthi dan Al Mahalli.

RAGAM FAN DAN JALUR PERIWAYATAN

Kitab-kitab hadits yang pernah dipelajari Syaikh Mahfuzh meliputi al Jami’ Ash Shahih karya Imam Al Bukhari (256), yang ia simak sebanyak empat kali khatam dari Allamah Sayyid Abu Bakar Syatha’. Ia juga memiliki jalan periwayatan lain yang lebih pendek tentang kitab ini dari As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi.

Selain mempelajari Shahih Al Bukhari, ia juga mempelajari Shahih  Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dengan bersanad dan jalur riwayat yang banyak.

Sanad hadits Syaikh Mahfuzh juga sampai kepada para ulama mujtahid madzhab yang membukukan hadits. Diantaranya Al Muwaththa’ Imam Malik riwayat Yahya bin Yahya, Musnad Imam Asy Syafi’i, Musnad Abu Hanifah, Musnad Ahmad, Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah, Asy Syifa Qadhi Iyadh, Asy Syamail At Tarmidzi, Al Arba’in An Nawawiyah Imam An Nawawi Ad Dimasyqi, Al Jami’ Ash Shaghir Imam As Suyuthi, Al Mawahib Al Qasthalani.

Dalam kitab sejarah, kitab As Sirah al Halabiyah karya Ali al Halabi, serta As Sirah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfuzh pun memiliki sanadnya.

Sejumlah kitab Maraji’ (rujukan) dalam fan fiqih, ilmu alat, ilmu ushul dan aqidah, akhlaq dan tasawuf yang dikaji Syaikh Mahfuzh, sanadnya juga menyambung kepada para penulisnya dengan beragam jalur periwayatan serta memperoleh ijazah atasnya. Bahkan tidak hanya kitab, amalan-amalan dzikir pun sampai kepada para ulama penulisnya. Salah satunya adalah hizb (kumpulan dzikir) An Nawawi yang disusun dan diamalkan Imam An Nawawi.

Syaikh Mahfuzh At Tarmusi mencatat sanad yang ia miliki, meneladani para ulama sebelumnya, yang menuliskan dan membukukan nama-nama guru dan jalur riwayatnya.

AL ASANID AL MAKKIYYAH

Karya yang sama juga ditulis Musnid Ad Dunya Syaikh Allamah Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al Fadani. Salah satunya Al Asanid Al Makkiyyah li Kutub al Hadits was Siyar wasy Syamail al Muhammadiyyah.

Dalam pengantarnya Al Fadani menerangkan, karyanya ini merupakan hasil studinya bersama rekan-rekan penuntut ilmu lainnya dalam mengisi hari-hari bulan Ramadhan selama 13 tahun lebih di Makkah al Mukarramah. Studi yang dilakukannya adalah mendaras kitab-kitab hadits yang tujuh, yakni Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan  Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi, Sunan an Nasa’i, Sunan Ibn Majah dan  Muwatha’ Imam Malik juga kitab-kitab lainnya dibidang sejarah dan sirah Nabi Muhamad SAW.

Al Fadani, yang dikenal rajin menulis, diminta teman-temannya menulis sebuah risalah yang memuat sanad guru-guru Makkah dalam periwayatan Kitab-kitab tersebut selama studi itu. Ia , yang juga dikenal sebagai pemilik sanad terkemuka dan terkaya, menyebutkan sanad-sanad periwayatan kitab-kitab tersebut dengan silsilah riwayat yang banyak dan beragam (ta’adud as silsilah wa riwayah). Ada 32 kitab yang disebutkan dalam kitab ini, yang diperoleh jalur periwayatan melalui talaqqi (membaca didepan guru) dan sima’ (uraian guru).

Salah satu contohnya adalah periwayatan atas kitab Asy Syifa bi Ta’rif Huquq al Musthafa. Al Fadani menyebutkan riwayat dan sanad riwayatnya ini dari kedua gurunya, Syaikh Umar Hamdan al Mahrasi dan Syaikh Abdullah bin Muhammad  Al Ghazi, keduanya dari Allamah Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, dari ayahnya Mufti Syafi’i  Makkah Sayyid Muhammad bin Husein Al Habsyi, dari gurunya, Al Muhaddits Umar bin Abdul Karim Al ‘Aththar Al Makki, dari gurunya Syaikh Muhammad Thahir bin Muhammad Sa’id Sunbul Al Hanafi dari pamannya pihak ibu, Syaikh Al Muhaddits Muhammad Arif bin Muhammad Jamal Fattani, dari gurunya Syaikh AL Muqri Yahya bin Muhammad shalih Al Habbab, keduanya dari gurunya, Al Musnid Hasan bin Ali Al Ujaimi, dari dua gurunya Al Imam Ahmad bin Muhammad al Qusyasyi dan Imam Ahmad bin Muhammad al ‘Ajal Al Yamani. Al Qusyasyi menerimanya dari Syaikh Abdurrahman bin Abdul Qadir bin Fahd, yang menerimanya dari pamannya ‘Allamah Muhammad Jarullah bin Abdul Aziz bin Fahd.

(Jalur lainnnya) Imam Ahmad bin Muhammad Al Ajal Al Yamani menerimanya dari Al Musnid Yahya bin Makram Ath Thabari, dari Abu Bakar bin Al Husain Al Maraghi Al Utsmani, dari Al Musnid Ahmad bin Abu Thalib Al Hajjar, dari Ja’far bin Ali Al Hamadani, dari Abu Thahir Ahmad bin Muhammad As Salafi Al Ashfahani, dari sang pengarangnya, yaitu Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al Yahsubi As Sibthi.

Untuk mengenal lebih dekat sosok Al Fadani pada bidang sanad ini, sebetulnya dapat dilakukan dengan menilik dari sejumlah karyanya. Berdasarkan penelitian sementara, diantara seratusan lebih karyanya, 60 diantaranya berkaitan dengan isnad. Hal itu cukup mengantarkannya sebagai “Musnid Ad Dunya” (Pemilik Sanad Terbanyak diDunia).

Syaikh Yasin menulis kitab-kitab sanad yang diperincikan atas nama-nama guru dan fan (bidang) kelimuan, seperti Madmahal Wujdanfi Asanid asy SyaikhUmar bin Hamdan, Ithaf al Ikhwanbi Ikhtishar Madmah al Wujdan,Tanwir al Bashirahbi Thuruq al Isnadasy Syahirah, Faydh ar Rahman fi Tarjamahwa Asanid Asy Syaikh Khalifah bin Hamd an Nabhan, Al Qawl al Jamil bi Ijazah as Sayyid Ibrahim bin Aqil, Faydh al Muhaimin Fi Tarjamah wa Asanid as Sayyid Muhsin, Al Maslak al Jaliyy fi Tarjamah wa Asanid Asy Syaikh Muhammad ‘Aliyy, Asanid Ahmad bin Hajar al Haitami al Makki,Al Irsyadat fi Asanid Kutub an Nahwiyyahwa Ash Sharfiyyah, Al ‘Ujalahfi al Ahadits al Musalsalah, Asma al Ghayah fi Asanid asySyaikh Ibrahim al Hazamifi al Qira’ah,Asanid al Kutub al Haditsiyyahas Sab’ah, Al ‘Iqd al Farid min Jawahir al Asanid, Ithaf al Bararah bi Ahadits al Kutub al Haditsiyyah al ‘Asyrah, Ithaf al Mustafid bi Nur al Asanid, Qurrah al ‘Ayn fi AsanidA’lam al Haramayn, Ithaf uli al Himamal Aliyyah bi al Kalam ‘ala Al Hadits al Musalsalbi al Awwaliyyah, Al Waraqat fi Majmu’ah al Musalsalat wa al Awa’il wa Asanid al Aliyyah, Ad Durr al Farid min Durar al Asanid, Bughyah al Murid min ‘Ulum al Asanid, Al Muqtathaf min Ithaf al Akabir bi Marwiyyat ‘abd al Qadir ash Shadiqi al Makki, Ikhtishar Riyadh Ahl al Jannahmin Atsar Ahl as Sunnah li Abd al Qadir ash Shadiqi al Makki, Ikhtishar Riyadh Ahl al Jannah min Atsar Ahl as Sunnah li ‘Abd al Baqi al Ba’li al Hanbali, Arba’un Haditsan min Arba’in Kitaban ‘an Arba’in Syaikhan, al Arba’un al Buldaniyyah Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan ‘an arba’in Baladan, Arba’un Haditsan Musalsal bi an Nuhad ila al Jal bi Ijazahal as Suyuthi, Al Salasil al Mukhtarah bi Ijazah al Mu’arrikh as Sayyid Muhammad bin Muhammad Ziyarah, Fath ar Rabb al  Majid Fimali asy-yakhiy min Fara’id al Ijazah wa al Asanid, Silsilah al Wushlah Majmu’ah Mukhtarah min al Ahadits al Musalsalah, al Faydh al Rahmani bi Ijazati Samahah al ‘Allamah al Kabir Muhammad Taqi al Utsmani, Nihayah al Mathlab fi’Ulum al Isnad wa al Adab, Ad Durr an Nadhir wa ar Rawdh an Nazhir fi Majmu’ al Ijazah bi Tsabat al Amir, Al Ujalah al Makkiyah wa an Nafhah al Makkiyah, Al Waraqat ‘ala al Jawahir ats Tsaminfi al Arba’in Haditsan min Ahadits Sayyid al Mursalin, Ta’liqat ‘ala Kifayah al Mustafid li Asy Syaikh Mahfuzh at Turmusi, Tahqiq al Jami’ al Hawi fi Marwiyyat al Syarqawi dan lain-lain.

Banyaknya catatan periwayatan yang sedemikian  terperinci menjadikan  Al Fadani seorang ulama ahli sanad yang benar-benar mendalaminya. Dengan demikian, tradisi sanad menjadi sebuah barometer orisinalitas atau keabsahan yang sangat vital, disamping menjaga tradisi para salaf dalam mencari keberkahan ilmu, memperoleh ilmu dengan cara mengambil dari guru yang memiliki sanad sampai kepenulis kitab yang dapat meminimalkan kesalahan pemahaman mengenai isi kitab tersebut. Selain itu, para pengambil ilmu darinya akan memperoleh sandaran yang kukuh dari para gurunya.

Maka benarlah apa yang dikatakan Al Imam Syafi’i, “orang yang belajar ilmu tanpa sanad  guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu.”

Begitu pula yang dikatakan Imam Ats Tsauri, “Sanad adalah senjata orang mukmin. Maka bila engkau tak punya sanad, dengan apa engkau akan berperang.”

Imam Ibn Al Mubarak pun berkata,”Pelajarilah ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap namun tak punya tangganya. Sungguh Allah muliakan agama ini dengan adanya sanad.”

Menjaga orisinalitas kelimuan itu sangat mutlak diperlukan, dan sanad merupakan salah satu kunci utama dalam menjaganya. Bukan tak mustahil, bahkan memang nyata, pada zaman sekarang ini banyak bermunculan orang yang mengklaim kealiman dan dijadikan rujukan fatwa oleh mereka yang awam, tapi akibat ketiadaan tali pengikatnya dengan ulama terdahulu, melahirkan pandangan-pandangan yang keliru. Persis apa yang dikatakan Imam  Ibn Al Mubarak, “Sanad itu bagian dari agama. Tanpa sanad, siapa saja dapat mengatakan sekehendak dirinya.”

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/

Baca Selengkapnya ....

Tujuan dan Dasar Utama Thariqah

Posted by Unknown Jumat, 20 Desember 2013 1 komentar
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi, termasuk Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan semacam ini, biasanya seorang anggota atau salik (penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan diarahkan oleh tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat bersangkutan sebagai upaya pengembangan untuk bias menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau makrifat kepada Allah ’Azza wa Jalla. Setiap tarekat memilki perbedaan dalam menentukan metode dan prinsip-prinsip pembinaanya. Meski demikian, tujuan utama setiap tarekat akan tetap sama, yakni mengharap kan Hakikat Yang Mutlak, Allah ’Azza wa Jalla. Secara umum, tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan pada kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama. Sehingga, setiap aktifitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan.

Karena itu, Muhammad ’Amin al-Kurdi, salah seorang tokoh Tarekat Naqsyabandi, menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah. Pertama, supaya ”terbuka” terhadap sesuatu yang diimaninya, yakni Zat Allah AWT, baik mengenai sifat-sifat, keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya secara dekat lagi, serta untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua, untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian menghiasinya dengan akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah) dengan berpegangan pada para pendahulu (shalihin) yang telah memiliki sifat-sifat itu. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syariat, yakni memudahkan beramal salih dan berbuat kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.

Langkah utama dan pertama bagi seseorang yang akan memasuki dunia tarekat adalah kesiapan untuk menaati aturan-aturan syariat islam. Karena seluruh aktifitas kehidupan anggota tarekat akan selalu bersandar pada hukum-hukum syariat, terutam yang terpilih dan memiliki keunggulan, dan mereka lebih senang menghindari hukum-hukum islam yang ringan dan mudah. Karena itu, mencium ambang pintu syariat, kata Abu al- Majdud as-Sana’i, merupakan kewajiban pertama bagi seseorang yang akan menempuh perjalanan ”mistik”ini. Di samping itu, dasar-dasar akidah yang benar juga merupakan pondasi utama bagi berlangsungnya perjalanan seorang murid dalam tarekat, yakni akidah para salaf salih, para sahabat, tabi’in, para wali serta para shiddiqin yang selalu berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Kedua dasar itu (akidah dan syariat) sangat diperlukan bagi seorang salik (pencari hakikat ketuhanan), mengingat perjalanan yang akan mereka tempuh sangat sulit dan mendaki, terutama untuk sampai pada maqam-maqam yang mereka tuju. Tanpa memilliki aqidah yang kuat, menguasai dan menjalani kehidupan syariat, maka pencapaian kehidupan tarekat mereka mustahil bisa dilakukan dengan benar, karena sesungguhnya dalam tarekat terjalin hal-hal yang diterangkan oleh syariat. Sebaliknya, kehidupan syariat nampak tidak akan seimbang bila tidak diiringi dengan nilai-nilai yang ada dalam tarekat atau dunia tasawuf secara umum. Peranan tarekat atau tasawuf sebagai dimensi batin syariat telah diakui oleh para pendiri aliran hukum, yang menenkankan pentingnya aspek ini dalam pendalaman etika islam.

Di sinilah tarekat memberikan keseimbangan dalam mengiringi jalannya syariat islam, sebagai penghalus untuk meresapkan nilai-nilai hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah sehingga bisa mencapaiai hakikatnya. Sebagian besar ulama salaf dalam masyarakat isalm telah mampu menjaga keseimbangan ini, yakni menjaga jangan sampai syariat terpisah dari tarekat dan tarekat terasing dari syariat. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam tumbuh dari kedua dimensi ini (syariat dan tarekat) selama berabadabad, yang secara bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan yang integraldalam masyarakat religius. Menurut simbolisme sufi yang cukup terkenal, Islam diumpamakan dengan buah ”kenari” yang kulitnya diibaratkan syariat, sedangkan isinya adalah tarekat, dan minyaknya yang ada dimana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit tidak akan tumbuh di alam, begitu pula bila tanpa isi, ia tidak akan mempunyai arti apa-apa. Syariat tanpa tarekat seperti tubuh tanpa jiwa, dan tarekat tanpa syariat pasti tidak akan mempunyai bentuk lahiriah serta tidak akan mampu bertahan dan mewujudkan dirinya di dunia ini. Bagi keseluruhan tradisi, keduanya mutlak diperlukan. Di sinilah secara universal rekat telah menunjukkan tujuannya sebagai penyempuna dalam memberikan keseimbangan bagi setiap hamba untuk menjalankan ajaran islam dan mengantarkan mereka menuju pintu hakikatnya. Melalui latihan-latihan mental dan spiritual (riyadhah)- nay, tarekat telah menunjuk kan metode praktisnya dalam memberikan nilai-nilai keseimbangan tadi.

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

PENTINGNYA SANAD ILMU

Posted by Unknown Kamis, 19 Desember 2013 0 komentar
PENTINGNYA SANAD ILMU: DEMI KEMURNIAN AGAMA

“Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya.”

Allah SWT memuliakan umat Islam dengan beberapa keistimewaan yang besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka.Dia antara keistimewaan umat Islam akhir zaman ini, Allah SWT memberi jaminan untuk menjaga mereka (umat Islam) dari “berhimpun” dalam kesesatan.Allah SWT memelihara umat Islam dari kesesatan dengan memelihara institusi ulama mereka yang terlibat dalam menjaga sumber agama Islam dan pemahaman-pemahaman yang shahih. Dengan demikian, Allah SWT menjaga ajaran Islam dari berbagai aspeknya, baik dari sudut sumbernya, cara memahami sumber secara shahih, maupun pemahaman yang shahih terhadap sumber-sumber tersebut melalui para ulama yang disebut dalam al-Quran  sebagaiAdz-dzikir, yang perlu dirujuk oleh orang-orang awam.

Keistimewaan in bertolak dari suatu keistimewaan mendasar lain, yaitu konsep sanad atau isnad (penyandaran sanad) atau sandaran dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sesuai dengan maksud hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Ulama adalah pewaris para nabi…”, sudah tentulah ilmu nabawi itu diterima oleh para ulama secara “pewarisan”. Dalam konsep “pewarisan” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama inilah, terwujud konsep atau tradisi “sanad” atau sandaran.

Abu Ali Al-Jiyani berkata, “Allah SWT mengkhususkan umat ini dengan tiga hal yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya: sanad, ansab (nasab-nasab), dan i’rab(penguraian kata dari segi kedudukannya).”

Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Tidak ada satu umat pun, sejak Allah menciptakan Adam, para ahli amanah, yang menjaga berita-berita para rasul, kecuali pada umat ini.”

Melalui jalur sanad, dimungkinkanlah penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita serta mengenali para perawi.Pencari hadits dapat mengetahui derajat (kualitas) hadits, mana yang shahih dan mana yang lemah. Dengan sanad pula, sunnah dijaga dan dipelihara dari pengelabuan, penyimpangan, pemalsuan, penambahan, dan pengurangan. Dengan sanad juga masyarakat menyadari kedudukan sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, yang ia ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian mendetail, yang belum pernah dikenal manusia ada sepertinya sepanjang sejarah. Dengan begitu, klaim orang-orang yang bathil dan senang membuat keraguan umat dapat ditolak, dan syubhat-syubhat yang mereka lontarkan seputar keshahihan hadits dapat dimentahkan.

Perhatian yang demikian besar terhadap sanad menampakkan kepada kita urgensi (pentingnya) dan pengaruhnya dalam ilmu hadits, yaitu melalui beragam aspek.Di antaranya, sanad merupakan salah satu karakteristik tersendiri dari umat ini, yang tidak ada satu umat manusia pun di muka bumi ini memiliki keistimewaan seperti ini.Tidak pernah ada riwayat dari salah satu umat terdahulu mengenai perhatian mereka terhadap para perawi berita dan hadits-hadits para nabi mereka sebagaimana yang dikenal dari umat ini.

Dalam konteks hadits, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur, mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya/kitab hadits (mukharrij) hingga Rasulullah SAW.Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.Contohnya, Al-Bukhari-Musaddad-Yahya-Syu’bah-Qatadah-Anas-Nabi Muhammad SAW.Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya.

Imam Ibnu Sirin berkata, “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut).”

Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Al-Auza’I bahwasanya ia berkata, “Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad (ilmu agama tersebut).”

Mengapa ilmu akan lenyap jika tradisi sanad ini tidak dipelihara? Di antara sebabnya, akan muncul golongan yang tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam bidang agama yang memadai berdiri di hadapan masyarakat umum lalu berbicara dalam urusan agama tanpa kelayakan. Mereka berargumen bahwa, karena semua orang berhak beragama, semua orang berhak berbicara dalam urusan agama.Dasar liberal seperti ini jelas tertolak dalam ukuran keilmuan Islam, yang menilai latar belakang keilmuan seseorang melalui tradisi sanad ini.

Oleh karena itulah, dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Al Mubarak, yang berkata, “Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya (dalam urusan agama, tanpa ilmu mendalam tentangnya).”

Maka jelaslah, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah keilmuan, baik secara umum maupun khusus, baik ijazah riwayah maupun dirayah atau kedua-duanya, ijazah tadris wa nasyr (izin untuk mengajar dan sebagainya), dan sebagainya, adalah untuk menjaga tradisi amalan para ulama as-shalih terdahulu dan dalam masa yang sama menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut adalah tradisi amalan para ulama mu’tabar yang tidak dapat diperselisihkan lagi, karena ia terpelihara dari masa ke masa.

Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis modern, yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran sebenarnya adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama, baik sanad ilmiy, ijazah tadris, maupun yang lainnya, yang menjadi asal rujukan.

Banyak sekali berita dan perkataan yang datang dari imam (tokoh-tokoh ulama) mengenai pentingnya sanad dan anjuran menjaganya. Bahkan mereka menjadikannya sebagai ibadah dan bagian dari din. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Isnad merupakan bagian dari agama ini. Andai kata bukan karena isnad, pastilah orang akan berkata semau-maunya. Bila dikatakan kepadanya ‘Siapa yang menceritakan kepadamu?’, ia diam (yakni diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia tidak memiliki sanad yang dengannya ia dapat mengenali keshahihan atau kelemahan suatu hadits.”

Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata seorang mukmin. Bila ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?”
Syu’bah berkata, “Setiap hadits yang tidak terdapat di dalamnya kalimat haddatsana (telah mengatakan kepada kami) dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami), ia seperti seorang laki-laki di tanah lapang bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.”

Tokoh terkemuka, Al-Auza’I, berkata,”Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya sanad.” Sedangkan di antara ulama masa belakangan yang sangat banyak mengumpulkan sanad adalah Syaikh Yasin Al-Fadani, yang digelari “Musnid Ad-Dunya” karena begitu banyak sanadnya.
Sebagian ulama mengumpamakan hadits tanpa sanad itu sebagai sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang. Ini terlihat dari untaian syair berikut:


Jika ilmu kehilangan sanad musnid, ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak

Dalam syair diatas, yang dimaksud musnid adalah orang yang memberikan sanad.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata kepada Abu Ali bin Miqlas, “Kamu ingin menghafal hadits (semata-mata) lalu serta merta menjadi seorang faqih? Tidak sama sekali. Sangat tidak realistis.” Demikian dalam Manaqib Imam Asy-Syafi’i yang disusun oleh Imam Al-Baihaqi.

Imam Al-Baihaqi menjelaskan ihwal perkataan ini bawasanya manfaat menghafal hadits-hadits adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali sebagai at-tafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadits namun tidak mendalami pemahaman tentang hadits yang dihafal itu tidak membuat seseorang itu menjadi faqih sama sekali.

Karena itu, Imam Ahmad juga berkata,”Mengetahui makna hadits dan menjadi faqih dalam hadits lebih aku sukai daripada menghafalnya (tanpa memahaminya).”

Imam Al-A’masy berkata, “hadits yang disebutkan oleh para fuqaha (dengan pemahamannya) lebih baik daripada hadits yang disebut oleh para syaikh (tanpa pemahaman).” (Tadrib Ar-Rawi, oleh As-Suyuthi).

Sebagai akibat dari penegasan tuntutan diadakannya sanad, dan demikian besar perhatian terhadapnya, kita mendapati bahwa kitab-kitab hadits yang dikarang sejak paruh pertama dari abad ke-2 H telah berkomitmen dengan hal itu. Buku-buku itu disebut dengan masanid (jamak dari musnad), yaitu sebuah nama yang memiliki hubungan yang jelas dengan masalah sanad. Di antara  musnad-musnad yang paling termasyur adalah Musnad Ma’mar bin Rasyid (152 H/768 M), Musnad ath-Thayalisi (204 H/819 M), Musnad al-Humaidi (219 H/833 M), Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M), Musnad asy-Syafi’i (294 H/819 M).

Musnad-musnad tersebut merupakan pegangan pokok bagi para pengarang yang datang setelah itu.Mereka merujuk kepadanya dan menjadikannya sebagai sumber mereka.Semua ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya sanad dalam ilmu hadits dan betapa besar perhatian yang diberikan umat kepadanya, serta betapa Allah menjaga agama ini dengannya dari upaya menghilangkan dan mengubahnya. Hal ini sebagai realisasi dari janji Allah SWT dalam menjaga adz-dzikir yang diturunkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hijr, ayat 9.

Mengenai dasar syari’at tentang sanad, di antaranya dapat kita lihat pada riwayat berikut: Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad, telah mengabarkan kepada kami Al-Awza’iy, telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan kalian boleh ceritakan (apa yang kalian dengar) dari Bani Israil dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari 3202).

Hakikat makna hadits tersebut, kita hanya boleh menyampaikan ayat yang diperoleh (didengar) dari guru-guru yang sebelumnya disampaikan secara turun-temurun, sampai kepada lisan Rasulullah SAW.Kita tidak diperkenankan menyampaikan akal pikiran kita semata.

Beliau juga bersabda,”Barang siapa menguraikan Al-Qura’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, sesungguhnya ia telah berbuat kesalahan.” (HR Ahmad).

Konsep sanad tidak terbatas pada ilmu hadits.Memang benar, istilah sanad digunakan secara meluas dalam bidang musthalah hadits. Namun, tidak berarti konsep sanad tidak meluas dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain.

Oleh sebab itulah, hanya orang-orang yang jahil (baik sadar maupun tidak) yang tidak melihat pentingnya sanad setelah terbukukannya hadits-hadits shahih oleh para ulama hadits kurun kedua hingga kurun keempat hijrah.Mereka menganggap, sanad sudah tidak relevan atau sudah tidak lagi diperlukan setelah hadits-hadits itu dibukukan oleh para ulama hadits, karena mereka membatasi konsep sanad pada ilmu hadits dari sudut wilayah semata.

Sesungguhnya, dalam ilmu hadits pun, ada sudut dirayah yang masih memerlukan sanad atau sandaran keilmuan, khususnya cara untuk memahami hadits dan pemahaman shahih terhadap hadits-hadits tersebut.

Ilmu-ilmu agama, khususnya yang melibatkan sudut dirayah, juga sangat memerlukan latar belakang keilmuan atau sandaran keilmuan bagi seseorang yang berbicara tentang agama.Karena, tanpa berguru dengan guru, seseorang tidak layak mengaku sebagai ahli ilmu atau ulama, walaupun sudah membaca banyak kitab.Sebab para ulama salaf sendiri mencela orang-orang yang berguru dengan lembaran-lembaran semata-mata untuk berbicara tentang agama di hadapan manusia.

Persepsi tentang sanad yang sempit hanya lahir dari mereka yang terlepas dari tradisi pembelajaran ilmu-ilmu agama yang murni sebagaimana ia diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf sepanjang zaman. Ketika memperbincangkan penggunaan istilah sanad dalam musthalah hadits, itu hanya satu bagian dari konsep sanad dalam ilmu-ilmu agama secara lebih luas, karena penggunaan konsep sanad atau “sandaran” memang suatu praktek dalam sistem pembelajaran ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.

Imam Syafi’i ramimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Sedangkan Al-Hafizh Al-Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan orang yang ingin naik kea tap rumah tanpa tangga.” Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Busthamiy mengatakan, “Barang siapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi, niscaya gurunya adalah setan.”

Dengan demikian, sanad ilmu/sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah, sedangkan sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan, baik al-Qur’an maupun as-sunnah, dari lisan Rasulullah.

Jadi, sanad keilmuan ini secara umum berarti latar belakang pengajian ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama setiap generasi sampai kepada generasi sahabat yang mengambil pemahaman agama yang shahih dari Rasulullah SAW.

Oleh sebab itulah, meskipun pembukuan sumber-sumber agama sudah selesai oleh para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain, untuk memahami sumber-sumber agama juga perlu merujuk kepada para ulama (ahl adz-dzikir) yangmempunya sanad keilmuan yang jelas.Jadi, para ulama yang dirujuk juga harus pernah mempelajari pemahaman agama yang shahih, dari para ulama yang juga mempunyai sanad keilmuan yang jelas.Begitulah bersambungnya silsilah ini sampai kepada para ulama dari kalangan sahabat hingga kepada Rasulullah SAW. Ibn Umar berkata, “Ilmu itu adalah agama, dan shalat itu adalah agama. Maka, lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu ini dan bagaimana kamu shalat dengan shalat ini, karena kamu akan ditanyai di hari akhirat.” (riwayat Imam Ad-Dailami).

Perkataan Ibn Umar ini menunjukkan pentingnya sanad keilmuan secara umum, baik dari sudut riwayah maupun dirayah.

Manhaj Islami dalam Ilmu-ilmu Agama
Dr. Yusuf Abdur Rahman dalam muqaddimah tahqiq kita Al-Majma’ Al-Muassis, karya Imam Ibn Hajar, mengatakan, “Adapun di antara segi terpenting dalam kitab ini adalah berkenaan dengan Manhaj Islami dalam ilmu-ilmu yang mengikuti manhaj As-Salaf Ash-Shalih, yang terwujud dalam bentuk talaqqi (menerima secara langsung) ilmu-ilmu dari para ulama, membaca kitab-kitab di hadapan mereka, mendapatkan ilmu dari mereka dan mengembara kepada mereka untuk tujuan tersebut, untuk mendapatkan ketinggian sanad, kejernihan minuman (ilmu), serta keselamatan dari kesalahan, kepincangan, dan hawa nafsu.”

“Hendaklah seorang penuntut ilmu memilih seorang guru yang ia dapat membaca kepadanya, yang mana guru tersebut perlu dinilai berdasarkan ia pernah membaca ilmu tersebut dari guru-gurunya dengan syarat yang mu’tabar di sisi para ulama. Begitu juga, para gurunya perlu membaca ilmu tersebut dari guru-guru mereka. Begitulah seterusnya kepada sumber cahaya ilmu dan petunjuk kemanusiaan, yaitu Rasulullah SAW.”

“Inilah cara sebenarnya dalam menuntut ilmu. Karena, ilmu itu diperoleh dengna belajar dan itu tidak diambil melainkan dengan bertalaqqi dari mulut para ulama dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, bersahabat dengan para ulama, dan sebagainya.” (Muqaddimah Tahqiq bagi Al-Majma’ Al-Mu’assis).

Dalam tradisi belajar-mengajari di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Imam Syafi’i berkata, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Pada kesempatan lain, imam madzhab ini menyatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yang mencari kayu bakar di tengah malam, yang ia pakai sebagai tali pengikatnya adalah ular berbisa tetapi ia tak mengetahuinya.” Pernyataan serupa juga dilontarkan Al-Hafizh Imam Ats-Tsauri, “Sanad adalah senjata orang mukmin. Maka bila engkau tidak memiliki senjata, dengan apa engkau membela diri?”

Masih banyak lagi pernyataan ulama-ulama terdahulu yang menegaskan pentingnya sanad dalam ilmu.Bahkan dalam tradisi ahli-ahli hadits, sanad ilmu merupakan hal yang wajib dimiliki oleh penekun ilmu hadits.Mereka tidak mengakui suatu hadits dari seseorang kecuali bila orang itu mempunyai sanadnya yang jelas.

Demikianlah pentingnya sanad ilmu bagi para penekun ilmu-ilmu Islam. Disiplin ilmu keislaman apa pun, sanadnya akan bermuara kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Ilmu hadits bermuara kepada beliau, pun demikian dengan ilmu tafsir, tasawuf, dan sebagainya.

Berdasarkan kepentingan sanad keilmuan inilah, para ulama menghimpunkan sanad-sanad keilmuan mereka tersebut yang merangkum ilmu-ilmu agama dari sudut riwayah maupun dirayah, dari sudut manqul (yang dinukilkan) maupun ma’qul (yang dapat dipahami secara akal), dan sebagainya, dalam kitab-kitab mereka.Sebagian ulama menyusun latar belakang keilmuan mereka, yaitu sanad keilmuan, dalam bentuk mu’jam asy-syuyukh, yang menyenaraikan riwayat hidup dan latar belakang keilmuan para guru mereka.

Sejarah penyusunan nama-nama guru atau syaikh didapati pada kurun ketiga hijrah, seperti Al-Mu’jam Ash-Shaghir oleh Imam Ath-Thabarani, lalu terus berkembang seperti Mu’jam Syuyukh Abi Ya’la Al-Mushili dan lainnya.

Kemudian, sudah menjadi kebiasaan para ulama silam, kita mu’jam adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama guru, kitab fihris adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama kitab (dengan sanad-sanadnya), dan kitab baramij adalah kitab yang terdiri dari dua bagian, bagian pertama yang menyenaraikan nama-nama guru dan bagian kedua yang menyenaraikan nama-nama kitab yang telah di talaqqi dari para ulama. Kemudian, ia berkembang kepada atsbat, yang menghimpun nama-nama guru dan kitab-kitab yang dibaca kepada mereka.

Dengan demikian, tradisi sanad adalah suatu intisari yang utama dalam sistem pembelajaran ilmu agama sejak generasi awal islam. Jadi, setiap guru yang mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas, terutama senarai guru-gurunya yang mengajarnya ilmu agama tersebut.Begitu juga, guru-gurunya (dari guru tersebut) juga mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas, yaitu mempunyai guru-guru yang mengajar mereka ilmu agama kepada mereka juga.Para guru dari guru-guru tersebut juga begitu.Begitulah bersambung silsilah berguru itu sampai kepada para sahabat, yang mana para sahabat mengambil ilmu agama dari Rasulullah SAW.

Inilah gambaran umum konsep sanad dalam tradisi pembelajaran ilmu agama.Mereka yang mempelajari ilmu-ilmu agama melalui sistem dan tradisi yang murni ini tidak terlepas dari konsep sanad ini.Ini tidak terpisah dari tradisi pembelajaran ilmu agama secara murni yang diambil dari generasi salaf.

Cuma, setelah muncul sistem pembelajaran acuan Barat, ilmu-ilmu agama diajar dalam bentuk dan acuan Barat di institusi-institusi pendidikan yang tidak mempunyai sanad keilmuan dalam bidang agama secara jelas.Maksudnya, para guru atau dosen yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas dari para ulama dan tidak mempunyai sanad keilmuan.Dan karena mereka yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai sanad keilmuan, akhirnya murid-murid yang belajar ilmu-ilmu agama di institusi tersebut juga tidak mempunyai sanad keilmuan.

Bahkan, lebih malang lagi jika seseorang itu mengambil ilmu-ilmu agama, pemahaman tentang Islam, dan pengakuan keahlian dalam bidang ilmu agama, dari orang-orang kafir (Orientalis) yang mengajar ilmu-ilmu agama diinstitusi-institusi tersebut. Dalam ukuran tradisi Islam sebenarnya, itu tidak sah dan tidak diakui kelayakannya dalam bidang ilmu keagamaan.

Inilah yang membedakan seorang ulama (alim) yang lahir dari tradiris pengajian Islam yang asli (bersanad) dengan seorang akademis yang lahir dari tradisi pengajian Islam versi baru (terutama dengan acuan Barat). Dari sudut penguasaan ilmu, seorang alim yang lahir dari tradisi pengajian Islam yang asli dapat menguasai ilmu-ilmu agama secara menyeluruh, sedangkan seorang akademis yang lahir dari tradisi pengajian Islam tanpa bersanad hanya menguasai ilmu-ilmua agama secara terpisah-pisah atau hanya pada aspek tertentu.

Mungkin seorang akademis dapat membicarakan masalah takhrij hadits, sebab mendalami bidang tersebut di institusi pengajian modern, namun tidak dapat menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam ilmu bahasa Arab, atau dalam bidang ulum Al-Qur’an dan sebagainya. Inilah yang dimaksudkan oleh Dr. Ali Jum’ah dalam kitab Al-Madkhal, yaitu, apabila ilmu agama dikuasai secara terpisah-pisah, ia menjadi sekedar maklumat (pengetahuan), bukan ilmu menurut ukuran sebenarnya.

Adapun budaya mendalami ilmu-ilmu agama dengan bergurukan kepada buku semata-mata, tanpa bertalaqqi dengan para ulama mu’tabar untuk mengambil pemahaman ilmu-ilmu agama, atau sekadar merujuk beberapa individu yang berbicara tentang agama tanpa latar belakang keilmuan (sanad keilmuan) yang jelas (ditambah lagi memiliki ijazah tadris/izin mengajar dari ulama muktabar), akan terlepas dari tradisi keilmuan Islam yang asli.

Mereka yang mencoba memahami agama sekadar memperbanyak bahan bacaan tanpa memperbanyak rujukan dari kalangan ulama tidak dinilai sebagai penuntut ilmu atau ahli ilmu sebagaimana dalam tradisi salaf terdahulu.

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja tidak akan menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur. Sedangkan guru bisa menegur jika ia salah. Atau jika ia tak paham, ia bisa bertanya. Tapi kalau berguru hanya kepada buku, jika ia tak paham, ia hanya terikat dengan pemahamannya dirinya.

Walau demikian, tentu kita boleh membaca buku. Namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah.

Pemahaman yang Keliru
Dr. Yusuf bin Abdur Rahman dalam bagian lain Muqaddimah Tahqiq kitab Al-Mu’jam Al-Mu’assis mengatakan, “Jika ilmu diambil dari pemegang sertifikat-sertifikat formal akademis, bukan dari pemegang ijazah-ijazah (sanad keilmuan dan ijazah tadris), rendahlah derajatnya, melencenglah penuntutnya dari kualitas sebenarnya, dan melencenglah ia dari jalan (tradisi) yang sebenarnya. Maka kembalilah kepada halaqah ilmu dan para ulama yang memiliki ijazah (sanad) sebelum kita mencari mereka lalu sudah tidak menemui mereka lagi (para ulama yang memegang sanad ilmu dan ijazah).Kembalilah kepada membaca kitab-kitab di hadapan para ulama yang mempunyai sanad yang bersambung, agar kita menjadi pemikul ilmu yang berkualitas, lalu menyampaikannya kepada generasi kemudian setelah kita. Kalau tidak, terputuslah sanad-sanad, sedangkan kita sudah menyia-nyiakan ilmu-ilmu kita, dan dengan demikian (karena terputusnya sanad ilmu) kita (para penuntut ilmu yang menjadi ulama) bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.”

Ya, kita memang tida boleh mengulangi kesalahan yang telah terjadi pada kaum Nasrani beberapa waktu setelah Nabi Isa tiada, yang sanad ilmu agama mereka terputus dari lisan Nabi Isa AS. Kitab suci yang di tangan mereka telah bercampur dengan akal pikiran mereka sendiri, yang di dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan manusia, sehingga mereka tidak mengenal Rasul Allah yang terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”(QS Al-Baqarah: 146).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Demi Allah, yang diriku berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari aku ini seorang pun dari umat sekarang ini, Yahudi maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah ia ke dalam neraka.”

Kaum Nasrani tidak memiliki sanad ilmu sehingga para rahib atau pendeta mereka dapat berfatwa berdasarkan apa yang mereka inginkan. Sehingga mereka memberhalakan akal pikiran mereka sendiri, yang di dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.”(QS Ar-Tawbah: 31).

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “Apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”, Nabi menjelaskan, “Tidak. Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu; tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya.”

Pada riwayat lain disebutkan, Rasulullah bersabda, “Mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudia mereka (umat tersebut) mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan kepada mereka.” (Riwayat At-Tirmidzi).

Di kalangan umat Islam sendiri, segelintir ulama telah terpengaruh oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan agama sehingga memahami Al-Qur’an dan as-sunnah dengan akal pikirannya sendiri, tidak lagi memperhatikan pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu yang tersambung sanadnya kepada Rasulullah. Ulama-ulama yang terhasut itu meninggakan pemahaman imam madzhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslimin pada umumnya (imam mujtahid muthlaq) yang bertalaqqi langsung dengan as-salafush shalih.Imam madzhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman as-salafush shalih melalui lisan mereka secara langsung.

Mereka sering menyuarakan slogan-slogan seperti “Mari Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Pemahaman Para Salaf”.Selintas terlihat slogan tersebut benar, namun tidak jelas para salaf (orang-orang terdahulu) yang mana yang dimaksud, karena salaf (orang-orang terdahulu) ada yang shalih, tapi ada pula yang tidak shalih, seperti kaum khawarij.

Contohnya, Abdurrahman bin Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Namun dia terpengaruh oleh hasutan atau ghawuz fikri(perang pemahaman) orang-orang khawarij, yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam. Sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Ali bin Abi Thalib.

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....
Buat Email | Copyright of Sepirit Sepritual Blog.