Pengertian Mursyid

Posted by Unknown Kamis, 09 Januari 2014 0 komentar
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’ yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.

Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :

Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:

“Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).

Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.

Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian.

Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ

Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)

Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.

Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)

Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :

عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ

Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.

Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada Guru Mursyid Shohibut­ Thariqah yang musalsal(silsilahnya) dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam Thariqah Tijaniyah sebutan untuk mursyid adalah "muqoddam". Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam thariqah. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid­-muridnya dalam kehidupan lahiriyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat di kalangan ahli thariqah.

Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang or­ang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting adalah ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.

Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru mursyid ini; seperti Nasik (orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari'at, tetapi juga dalam masalah aqidah/keyakinan), Syaikh (or­ang yang menjadi sesepuh atau yang dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang dihormati clan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.

Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.ra, seorang penganut Thariqah Naqsyabandiyah yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya Tanwirul Qulub fii Mu'amalati Allamil Ghuyub menyatakan bahwa yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam ilmu syari'at dan hakikat menurut Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqom (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai'at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.

Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu sebenamya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut diatas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqah. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya, menurut Al-Kurdi, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak clan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Al-Imam Ar-Rozy menyatakan bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-pemimpinnya yang arif.


Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

Kriteria dan Adab Guru Mursyid

Posted by Unknown Senin, 06 Januari 2014 1 komentar
Menjadi guru tarekat (mursyid) tidak semudah seperti menjadi guru pada umumnya. Seorang mursyid harus memiliki kualifikasi khusus. Hadratusy Syekh Hasyim Asy`ari (Pendiri tokoh NU) menetapkan syarat-syarat guru tarekat seperti ungkapan di bawah ini :


ومن شرائط الشيخ ان يكون عالما بالاوامر الشرعية عاملا بهاواقفا على اداب الطريقة سالكا فيهاكاملا فى عرفان الحقيقة وواصلا اليهاومحرصا عن جميع ذلك

Artinya : “Diantara syarat guru tarekat adalah alim atas perintah-perintah syara`, mengamalkannya, tegak di atas adab-adab tarekat serta berjalan di dalamnya, sempurna pengetahuannya tentang hakekat dan sampai pada hakekat itu serta ikhlas dalam semua hal tersebut”.


Hadratuy Syekh juga mengutip ungkapan Imam Al-Junaidi ra. Melalui ungkapannya

علمناهذا مقيد بالكتاب والسنة فمن لم يقرأ القران ولم يكتب الحديث ولم يجالس العلماء لايقتدى به فى هذا لشأن

Artinya : “Ilmu kita ini (tarekat) terikat oleh Al-Qur`an dan Assunnah. Siapa saja yang belum belajar Al-Qur`an dan As-Sunnahdan tidak pula pernah duduk di depan para Ulama (untuk menuntut ilmu) orang tersebut tidak boleh diikuti di dalam tingkah laku tarekat ini”.
Syekh Ahmad at-Tajibi dalam kitab Mabaahisul Ashliyah yang teruntai dalam nadhamnya :


عار لمن لم يرض العلوما – ويعلم الموجود والمعدوما


ولم يكن فى بدئه فقيها -  وسائر الاحكام ما يدريها


والحد والاصول واللسان – والذكر والحدود والبرهانا


ولم يكن احكام علم الحال – ولا درى مراتب الرجال


وعلم السر النسخ والمنسوخ – ان يتعاطى رتبة الشيوخ


Artinya : Buruk sekali bagi orang yang belum belajar ilmu-ilmu Belum mengetahui yang maujud dan yang ma`dum. Tidak pula mengerti hukum Islam. Tidak pula mengetahui seluruh hukum-hukum. Juga tidak tentang ketetapan, ilmu ushuluddin dan nahwu. Demikian pula tidak mengetahui ilmu Al-Qur`an, pidana dan burhan. Dan tidak pula mendayakan ilmul hal. Dan juga tidak mengerti tentang martabat para guru. Serta tidak mengetahui rahasia ilmu nasakh dan mansukh. Sungguh buruk sekali orang demikian itu apabila ia Menduduki martabat para syekh"

Syekh Hasyim Asy`ari mengatakan betapa buruk gambaran seseorang yang mengaku menjadi guru tarekat, sementara belum mendalami semua ilmu sebagaimana terebut di atas. Beliau menyarankan kepada kita, jika belum menemukan guru seperti kriteria yang telah disebutkan pada syarat diatas, maka seseorang boleh mencukupkan diri dengan “mendalami Sullam Taufiq, Safinah, Bidayah dan lainnya.

Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :

  1. Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
  2. Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
  3. Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
  4. Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
  5. Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
  6. Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
  1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
  2. Memiliki pengetahuan yang benar.
  3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
  4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
  5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
  1. Bodoh terhadap ajaran agama.
  2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
  3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
  4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
  5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

  1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
  2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
  3. Tamak terhadap sesama makhuk.
  4. Kontra terhadap Ahlullah
  5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

  1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
  2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
  3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
  4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
  5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.

Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
  1. Himmah yang tinggi,
  2. Menjaga kehormatan,
  3. Bakti yang baik,
  4. Melaksanakan prinsip utama; dan
  5. Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid itu harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut;

  • Alim dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih/syari'ah dan masalah tauhid/'aqidah dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
  • Arif dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya dan juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta memperbaiki seperti semula.
  • Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada diantara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka dia bersikap sabar, memperbanyak maaf dan tidak bosan-bosan mengulang-ulang nasehatnya serta tidak tergesa­-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah thariqahnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
  • Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan banyak orang. Tetapi sebaliknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
  • Tidak menyalah-gunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
  • Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
  • Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersendau ­gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syari'ah dan thariqah dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah SWT dengan amalan-amalan yang sah.
  • Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada batiniyah para muridnya.
    Bijaksana, lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
     
  • Apabila dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergiberkholwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh clan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
     
  • Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaklah dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya clan sikap hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
    Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-­kesempatan tertentu kepada para muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
     
  • Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan rohani yang sewaktu-waku dapat timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan clan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru'yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (menyaksikan hal-hal gaib) yang dialaminya, yang didalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaliknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid thariqah bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan rohani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
     
  • Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang karomah-karomah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si mu­rid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bertambah takabbur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
     
  • Menyediakan tempat ber-kholwat yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk keperluan khusus. Begitupun dirinya, juga menyiapkan tempatkholwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
     
  • Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan rohani yang dia berikan kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
     
  • Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid thariqah lain, karena yang demikian itu acapkali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-­apa.
     
  • Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akherat yang hakiki.
     
  • Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan fikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
     
  • Apabila dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara clan tidak melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
     
  • Tidak memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang sebaik-baiknya.
     
  • Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. 
  • Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.
Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

Mursyid Dalam Thoriqoh

Posted by Unknown Sabtu, 04 Januari 2014 0 komentar
Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.

“Kenapa kau lakukan ini padaku?”

Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.

“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.

Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”

Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.

Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.

Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”

“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,

direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.

Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu.”

Puisi al-Imam Jalaluddin Rumi, “Chickpea to Cook,” dalam Barks, Coleman (trans.) “The Essential Rumi”. Castle Books, 1997.

MURSYID

Mursyid itu adalah guru ruhani yang mengetahui anatomi ruhani kita dengan jelas, dan menghadapkan kita ke hadirat Allah Swt. Agar kita mengenal Allah dengan sesungguhnya.

Perkataan mursyid berasal dari bahasa arab, dari kata irsyada, yaitu memberi tunjuk-ajar. Dalam arti kata lain, mursyid berarti, seseorang yang pakar dalam memberi tunjuk-ajar terutamanya dalam bidang kerohanian, dalam istilah para sufi.

Mursyid secara istilahnya (menurut kaum sufi), merupakan mereka yang bertanggungjawab memimpin murid dan membimbing perjalanan rohani murid untuk sampai kepada Allah s.w.t., dalam proses tarbiah yang teratur, dalam bentuk tarekat sufiyah.

Para mursyid dianggap golongan pewaris Nabi s.a.w. dalam bidang pentarbiah umat dan pemurnian jiwa mereka (tazkiyah an-nafs), yang mendapat izin irsyad (izin untuk memberi bimbingan kepada manusia) dari para mursyid mereka sebelum mereka, yang mana mereka juga mendapat izin irsyad dari mursyid sebelum mereka dan seterusnya, sehinggalah silsilah izin irsyad tersebut sampai kepada Rasulullah s.a.w. (tanpa terputus turutannya). Oleh itu pada kebiasaannya, ia daripada keturunan ulamak.

Para mursyid bertanggung jawab bagi mengajar dari sudut zahir (syariat) dan makna (batin). Antara ciri seseorang yang digelar mursyid adalah:-
  • Mempunyai ilmu agama yang jelas tentang perkara-perkara fardhu 'ain.
  • Dia merupakan seorang yang kamil/sempurna dari sudut muamalah dengan Allah SWT.
  • Mendapat pengiktirafan /pengesahan dari mursyidnya (guru) yang diiktiraf (tidak putus dalam turutan pengajaran).
  • Manhaj tarbiah yang selaras dengan panduan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Mursyid mengajarkan  kita bagaimana cara mendekatkan  diri kepada Allah sekaligus memberi contoh suri teladan yang indah kepada kita bagaimana berakhlak yang baik dan beribadah yang benar secara lahir dan batin atau secara syari’at dan secara hakikat. Seorang guru mursyid begitu penting keberadaannya dalam sebuah Thariqah. Yang paling utama dengan Guru Mursyid, si murid akan mendapatkan talqin (pengajaran/pengijazahan) dzikir atau ba’iat yang tidak bisa dilakukan oleh orang biasa. Sangat berbeda dengan ijazah Amalan Ilmu Hikmah, karena talqin itu suatu proses dimana mursyid memasukan nur nubuwah (cahaya kenabian) ke dalam hati murid. Sekaligus mengajarkan cara berdzikir yang benar dengan metode Thariqah yang sesuai dengan syari’at Islam.

Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.

Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.

Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.

Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.

Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?

Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-Thariqah maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.

Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.”

Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.”

Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.

Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.

Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,

“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.”
Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah klasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.

Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.

Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang muasis/pencetus atau Mursyid-Syaikh sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan serta keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti silsilah mata rantai thariqah tersebut sudah berakhir, bukan ajarannya.

Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.

Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.

Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)

Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.

Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm.

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai  ‘ilm tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘ad (limpahan karunia) semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)

* Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya.

Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).

Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?

Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.

Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.

Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.

Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.

Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.

Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.

Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan “ulama”nya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.

Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.

Dalam sejarah tashawuf  ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.

Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”

Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqah dan Mursyid itu tidaklah diperlukan.

Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawuf  secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat. Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,

Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.

Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.


Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.

Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.

Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam.

Mursyid kammil mukammil mampu mengontrol ribuan bahkan jutaan muridnya, tetapi cara mengontrolnya bukan seorang direktur sedang mengontrol usahanya, atau seorang presiden mengontrol bawahannya. Kontrol di alam ruhani berbeda dengan dengan alam lahiriyah. Tetapi semua itu kesiapan yang dikontrol.

Tidak ada jaminan, kontrol mursyid pada muridnya membuat murid langsung sadar 100%. Kalau saja muridnya tetap saja mengikuti hawa nafsunya sendiri, bahkan cenderung kepada ambisi duniawinya ataupun lebih mementingkan alas an nafsu pribadinya. Cahaya ruhani mursyid sulit masuk. Sebagaimana rposulullah saw, dahulu,  toh diantara para pengikutnya ada golongan Munafikin, itu berarti hidayah Allah tetap urusan Allah. Para Mursyid tetap mendoakan  muridnya, menyampaikan cahaya ruhaninya, tetapi jika mbandel dan keras kepala, para murid tidak akan meraih apa-apa. Apalagi muridnya mulai kontra dengan mursyidnya, malah semakin terlempar dalam kegelapan.

Didalam kitab Risalatul Murid, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra menjelaskan perihal mencari Syaikh/Mursyid yang kamil (sempurna) atau Syaikh yang sejati

MENCARI SYAIKH YANG SEJATI

Ketahuilah sang murid menginginkan dan mencari Syaikh yang sejati untuk menuntut ilmu padanya. Tidak boleh mengambil sembarang orang yang dapat diakui sebagai Syaikh, yang boleh memimpin murid-murid ke jalan Allah Ta'ala, dan menjadi Syaikhnya sehingga ia harus menyelidiki lebih dahulu, dan ia kenal benar-benar keahlian Syaikh tersebut dan hatinya menerima orang itu sebagai Syaikhnya.

Demikian sebaliknya seorang Syaikh tidak boleh menerima sembarang murid yang datang padanya minta dituntun ke jalan Allah, sebelum ia menguji kesungguhan si murid untuk menunjukkan keinginannya yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan seorang pemimpin yang akan menunjukkan ke jalan Tuhannya. Syarat-syarat ini harus berlaku bagi murid-murid yang akan menuntut ilmu kepada Syaikh Tahkun (Syaikh yang dalam tangannya terserah segala putusan).

Murid yang menuntut ilmu pada Syaikh Tahkun ini harus menganggap dirinya seperti mayat yang sedang dibersihkan oleh tangan-tangan yang memandikannya, atau laksana seorang bayi yang berada dalam pemeliharaan ibunya, syarat-syarat serupa ini tidak berlaku pada Syaikh Tabarruh (Syaikh yang biasa dimohon keberkatan daripada-nya). Apabila seorang murid bermaksud untuk mendapat­kan keberkatan seorang Syaikh, bukan tahkimnya maka diperbolehkan menemui sebanyak mungkin Syaikh dan menziarahi mereka adalah lebih baik dan utama untuk memperoleh keberkatan itu. Apabila murid belum menda­patkan Syaikh, dengan tekun dan rajin menunjukkan harapan dan keperluannya kepada Allah SWT, dengan kebenaran yang sempurna agar Dia menunjukkan kepada seorang murid pemimpin yang boleh memimpinnya kejalan Allah SWT. Jika ia bersungguh akan keinginannya pasti Allah akan mengabulkan permohonannya. Sebagaimana Allah akan mengabulkan permohonan orang-orang yang terdesak (dipaksa oleh keadaan) niscaya Allah akan memimpin dan mendorong pada salah seorang diantara hamba-hambaNya.

Setengah murid menyangka dirinya tiada mempunyai Syaikh dan sepanjang masa ia berusaha mencari Syaikh padahal Tuhan telah mentakdirkan seorang Syaikh untuknya. Sedang ia tidak pernah melihat Syaikh tersebut. Syaikh tersebut memelihara murid-murid dengan pandangan bathinnya, dan menjaga dengan penuh perhatian sedang si murid tidak merasakan semua sama sekali. Jika murid yang mengatakan tidak ada Syaikh pada jamannya sebenarnya ia keliru. Atau mungkin Syaikh itu tidak benar. Dan pada hakekatnya Syaikh-Syaikh agung memang banyak sekali, maha suci Allah yang telah menunjukkan bukti kepada para Auliya'Nya. Seperti Dia menjadikan bukti untuk mengenal Zatnya dan Dia akan menunjukkan seorang murid pada Auliya'Nya melainkan yang disukai dan menyampaikan kepada Zatnya sendiri.

Ketahuilah bahwa Syaikh yang kamil ialah seorang Syaikh yang selalu memberi faedah pada muridnya, dengan penuh kesungguhan dalam perbuatannya dan perkataannya.

Dia memelihara muridnya sewaktu berada dihadapannya, dan juga dimasa murid berada jauh daripadanya. Sekiranya sang murid jauh dari tempat Syaikh berada, maka Sang Syaikh akan memelihara muridnya dengan getaran-getaran kalbunya dalam hal apa saja yang dikerjakan si murid maupun yang ditinggalkannya.

 Adapun perkara yang sangat membahayakan sang Murid, apabila hati si Syaikh berubah, dan tidak memandang padanya. Dalam hal ini bila dikumpulkan seluruh Syaikh-Syaikh yang lain dari timur sampai ke barat, untuk mengubah hati Syaikh kepada muridnya. Niscaya akan sia-sia dan tidak akan berhasil, kecuali sang murid sendiri ha¬rus berusaha untuk mengubah hati Syaikhnya dan minta maaf serta mendapatkan keridhoan-Nya.

BAGAIMANA HUKUMNYA MEMILIKI SEORANG GURU MURSYID?

Ibadah akan sia-sia dan tidak sempurna, jika tidak diiringi dengan hati yang penuh dengan cahaya-Nya. Cahaya Allah tidak akan bisa ditangkap dengan hati yang kotor yang penuh dengan kedengkian, kesombongan, dendam dan lain–lain. Hal ini tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari tasawwuf yang dibimbing langsung oleh Guru Ruhani yang disebut Mursyid.

Dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali: “Seorang murid membutuhkan seorang mursyid , yang membimbingnya pada jalan yang lurus. Sebab jalan keagamaan (kerohanian) terkadang begitu samara-samar, dan jalan syetan begitu beraneka. Barang siapa tidak memiliki mursyid yang menjadi panutannya, dia akan dibimbing syetan kea rah jalannya. Hendaklah ia berpegang teguh kepada mursyidnya bagaikan pegangan seorang buta di pinggir sungai, dimana dia sepenuhnya menyerahkan dirinyabkepada pembimbingnya, serta tidak berselisih pendapat dengannya.”

Dan seluruh ahli thariqah pun sepakat mewajibkan kepada seluruh manusia harus mencari guru yang memberi petunjuk kepadanya untuk menghilangkan macam –macam sifat yang bisa menjadi penghalang kepadanya dari ma’rifat ke hadrot Allah oleh hatinya. Hal itu dilakukan agar hati menjadi sah dan khusyu, sebab menghadirkan Allah dalam seluruh ibadah. Sedangkan dalam kenyataannya, hati tak akan bisa khusyu kepada Allah tanpa adanya bimbingan. Jadi mencari Mursyid itu hukumnya menjadi wajib. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajib illaa bihi fa huwa waajibun.” Artinya: “Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan suatu perkara dan perkara itu hukumnya menjadi wajib.”

Pernah mengatakan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs: “Maka wajib bagi semua manusia untuk mencari kehidupan hati seperti untuk kehidupan keakhiratan dari ahli talqin dzikir di dunia ini sebelum datangnya maut.“

Syekh Abi Hasan Asy-Syadzili qs mengatakan: “Barangsiapa yang tidak ikut masuk thariqah-ku yaitu thariqah shufiyyah (thariqah-nya orang-orang ahli tasawwuf) maka ketika mati, orang itu membawa dosa besar karena hukumnya fardlu‘ain. Oleh karena itu, maka wajib untuk pergi mencari seorang guru Mursyid untuk minta talqin dzikir, dan jika sudah menemukan Mursyid yang telah masyhur dalam mengobati muridnya, namun walaupun orang yang mau belajar itu dilarang oleh orang tuanya maka ia wajib untuk berguru.“
Sebagian orang–orang yang telah ma’rifat mengatakan: “Barangsiapa orang yang tidak memiliki bagian ilmu batin ini yaitu thariqah tasawwuf maka aku takut orang itu jika meninggal dalam keadaan su’ul khotimah yaitu akhir yang jelek karena hati yang kotor.“

Dalam kitab Risalatul Qudsiyyah, Syekh Wahab Sya’roni.rhm telah berkata: “Mencari guru thariqah itu wajib bagi tiap-tiap murid walaupun telah menjadi Ulama besar, karena sesungguhnya tiap–tiap orang yang tidak mendapat dzikir dari guru Mursyid yang memberi petunjuk kepadanya untuk mengeluarkan sifat–sifat yang cacat di hatinya. Maka orang itu telah ma’siyat kepada Allah dan Rosulnya, hal itu dikarenakan tidak mendapat petunjuk jalan untuk mengobati penyakit hatinya walaupun dengan memaksa tetap tidak akan membawa manfaat kalau tanpa Mursyid, walaupun orang tersebut telah hafal seribu kitab.”

Dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 17, Allah swt berfirman: “Barangsiapa yang ditunjuki Allah, niscaya ia mendapat petunjuk dan siapa yang disesatkan-Nya, maka tiadalah engkau menemukan Wali Ursyid”. Carilah Mursyid Kammil Mukammil yaitu manusia yang paripurna ma’rifatnya dan menghantar yang lain untuk ma’rifat kepada-Nya.

Guru Mursyid memiliki silsilah yang kuat dan sohih, dimana sanad nya (silsilah) sampai kepada baginda Nabi Muhammad saw.

Seorang mursyid memiliki hak prerogratif untuk mengangkat seorang murid menjadi seorang Guru Mursyid atau wakil mursyid setelah murid tersebut lulus menurut “pandangannya,” Semua perbuatan Guru Mursyid selalu berada dalam cahayaNya dan Allah selalu menuntunnya. Biasanya murid yang akan dicalonkan mursyid atau calon wakil mursyid itu telah berhasil melakukan tarbiyyah khusus. Jadi tidaklah dibenarkan murid mengajarkan talqin atau bai’at untuk menanamkan nur nubuwat (cahaya kenabian) kepada murid atau  jiwa orang lain kecuali telah berhasil tarbiyah (pelatihan khusus) dan idzin dari mursyidnya.

Diterangkan dengan jelas oleh Ulama Taswuf dalam kitab Bayanu Tashdiq:

“Tidak boleh memberi ijazah atau talqin dzikir atau bai’at  kepada murid-murid yang lain kecuali sudah ada tarbiyyah, artinya pelantikan dan diberi izin oleh guru mursyid lebih jelasnya Khirqoh Sufiyah dan surat tanda izin atau piagam.”

Dan begitupun para Imam rohimahumullah mengatakan: “Sudah jelas dan tidak samar lagi bahwasanya barangsiapa yang mulai berani memberikan ijazah talqin dzikir Thariqah atau tarekat sedangkan dia bukan ahlinya atau tidak ada izin dari mursyidnya, maka orang tersebut lebih banyak merusak dalam Thariqah jalan menuju Allahnya daripada membuat kemashlahatannya dan murid tersebut terputus dari silsilahnya kepada Nabi Muhammad saw juga otomatis telah keluar dari martabatnya murid yang benar apalagi martabat guru ma’rifat.”

Sumaber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....

Talqin Dzikir/Ba’iat

Posted by Unknown Rabu, 01 Januari 2014 3 komentar

Dasar Thariqah

Wa al lawis taqoomu 'alath thoriiqoti la asqoinaahum maa-an ghodaqoo.

"Dan jikalau kamu tetap di atas Thariqah pastilah akan Kuberikan kepadamu akan siraman air yang segar" (QS. Al Jinn 16)

Berdasarkan QS. Al Jinn 16, ajaran Thariqah adalah ajaran agama Islam, bukan ajaran Ulama' Salaf (Ulama' pertengahan setelah para sahabat), sebagaimana anggapan sebagian kecil ummat Islam. Masalah Dzikrulloh telah di contohkan atau di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tersebut dalam Al Qur-an :

La qod kaana lakum fii rosuulillahi uswatun chasanatul li man kaana yarjullaaha wal yaumal aakhir wa dzakarallooha katsiiroo.
"Sungguh ada bagi kamu di dalam diri Rosululloh itu contoh yang bagus, bagi siapa saja yang ingin bertemu Alloh dan hari akhir, maka dzikirlah kepada Alloh yang sebanya banyaknya" (QS. Al Ahzaab)
Ajaran Thariqah atau Dzikrulloh ini adalah ajaran yang bersifat khusus, artinya tidak akan di berikan atau di ajarkan kepada siapa saja, selama orang itu tidak memintanya. Oleh sebab itu untuk menerima ajaran Thoriqoh atau Dzikrulloh ini harus memiliki Bai'at, sebagaimana tersebut dalam Al Qur_an surat Al Fath ayat 10

Innal ladziina yubaayi'uunaka innamaa yubaayi'uunallooha,...

"Sesungguhnya orang orang yang Bai'at kepadmu (Muhammad) sesungguhnya mereka Bai'at kepada Alloh" (QS. Al Fath: 10)

Bai'at sebagai bentuk proses Ijab Kobul, ajaran Thariqah harus melalui pengajaran dan pengesahan Ijab Kobul antara seorang guru (Mursyid atau wakil yang di tunjuk) dengan murid, di sebut Bai'at. Bai'at bukan sumpah setia kepada guru atau lembaga Thariqah atau Organisasinya. Pelajaran Thariqah tanpa melalui proses Bai'at, maka Barokah Ilmu khusus dari Rosululloh SAW melalui guru-guru secara berantai, tidak dapat mengalir.

Salah satu syarat ber-thariqah, adalah bai'at dari seorang Mursyid yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, yang mana mursyid tersebut telah memiliki empat syarat Thariqah sbb:

  1. Sanad-nya silsilahnya muktabaroh, artinya tidak putus shahih sampai kepada Baginda Nabi SAW.Ath-Thoriqotil-Baidlo’ yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya sampai Rosulillah SAW
  2. Bay'at, melalui guru mursyid yang memilki otoritas dari guru mursyidnya sambung menyambung sampai kepada Baginda Nabi SAW.
  3. Tidak didapat melalui mimpi.

Adanya khirqah atau ilbas yang dimiliki oleh Mursyid tersebut. (ini yang sangat kuat menunjukkan otoritasnya) karena ia memiliki khirqah yang maknanya sesuatu peninggalan dari Baginda Nabi SAW atau dari Imam Thariqahnya, yang diberikan secara turun menurun dari setiap guru mursyid terdahulu sampai kepada sang mursyid guru kita sekarang tersebut yang mana bukti otentik khirqah/ilbas tersebut diketahui oleh banyak saksinya.

demikian keterangan dari guru kami yang juga termaktub dalam kitab Jami' ushul awliya.

Baiat itu adalah wujud janji kita kepada Allah swt. Sebagaimana janji seseorang ketika masuk Islam, dengan membaca syahadatain (dua kalimah syahadat).  Begitu juga Baiat itu berjanji menjalani perilaku thariqoh sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw, dengan tata cara khusus. Karena itu menurut Syeikh Abdul Qodir Jilani, thariqah adalah suluk (penempuhan jalan) menuju kepada Allah dengan tata cara khusus. Maksudnya dzikir-dzikirnya juga khusus, karena harus ada sanad yang berantai sambung (muttasil) sampai ke Rasulullah saw, dan dibimbing oleh Mursyid yang kamil mukammil.

Thariqoh itu banyak, tetapi tujuan nya sama, dan dasarnya juga sama. Berikut keterangan yang merupakan pedoman bagi orang yang berthariqah ;

Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzatlafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya.

Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil(bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.

Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin dan ta’lim(belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqah, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan faedah yang sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai'at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai'at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai'at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai'at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai'at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari'at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

Baiat / Baiah / Bai'ah (Bahasa Arab: بيعة‎ atau بَيْعَة) ialah perjanjian untuk memberi ketaatan. Orang yang berbaiat ialah seolah-olah ia membuat janji setia untuk menyerahkan dirinya dan urusan kaum Muslimin kepada khalifah. Ia tidak akan melanggar kepada janji-setianya terhadap khalifah dalam urusan tersebut malah ia mestilah mentaati apa yang dipertanggungjawabkan ke atasnya sama ada ia suka ataupun ia benci.

Bai’ah adalah akad antara umat dan calon khalifah untuk menjadi Khalifah atas dasar redha dan pilihan, tanpa ugutan dan paksaan. Allah S.W.T melalui Rasulullah s.a.w. telah menggariskan bahawa akad tersebut adalah baiah.

Sebagaimana layaknya sebuah akad, dalam Baiah perlu ada ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan). Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya mencontohkan bahawa ijab berasal dari umat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijabnya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabulnya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah.

Syarat-syarat sah Baiah

    Islam
    Baligh
    Berakal
    Redha dan atas pilihan


Hadis tentang baiah

Banyak hadis sahih yang menjelaskan bahawa seseorang sah sebagai Khalifah jika diangkat melalui proses Baiah. Para sahabat pun melakukan hal yang sama. Tidak pernah seseorang menjadi Khalifah tanpa dibaiah. Abu Bakar menjadi Khalifah bukan hasil musyawarah memutuskan beliau sebagai khalifah, tetapi setelah beliau dibaiah di Saqifah. Umar menjadi khalifah bukan setelah pengumuman Abu Bakar tentang hasil musyawarah kaum Muslim, melainkan setelah beliau dibaiah. Demikian juga dengan Uthman dan Ali. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahawa baiah merupakan satu-satunya cara tetap (thariqah) pengangkatan khalifah. Sekalipun disetujui majoriti rakyat atau wakilnya, seseorang belum menjadi khalifah sebelum dibaiah. Begitu juga, warisan atau sistem putera mahkota bukanlah cara pengangkatan khalifah.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah saw. beliau bersabda:

"Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiah khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka."

Jenis-jenis baiah

Siapapun yang mengkaji hadis Nabi s.a.w. akan menemukan bahawa baiah terhadap khalifah ada dua jenis:

(1) Baiah In‘iqad, yakni baiah yang menunjukkan orang yang dibaiah sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti;

(2) Baiah Taat, iaitu baiah kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiah Taat bukanlah untuk mengangkat khalifah, kerana khalifah sudah ada.

Kedua baiah ini juga didasarkan pada Ijmak Sahabat. Misalnya, Abu Bakar diangkat oleh sebagian Sahabat sebagai calon dari semua Sahabat, baik kalangan Muhajirin maupun Anshar. Setelah baiah dilakukan di Saqifah, esoknya kaum Muslim dikumpulkan di masjid. Abu Bakar berdiri di Mimbar. Sebelum Abu Bakar berbicara, Umar bin Khathab antara lain berbicara,

"Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama Rasul di gua. Berdirilah kalian, baiahlah dia."
Para Sahabat pun membaiah Abu Bakar setelah pembaiahan di Saqifah. Pembaiahan wakil Sahabat kepada Abu Bakar di Saqifah merupakan Baiah In‘iqad, sedangkan pembaiahan kaum Muslim kepadanya di masjid merupakan baiah taat. Hal serupa terjadi pada khalifah lainnya. Ini merupakan gambaran dan penegasan tentang keredhaan rakyat kepada Khalifah.

Berbeza dengan Baiah In‘iqad yang bersifat pilihan, Baiah Taat wajib atas setiap orang, yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan islam yang ditetapkannya.

Baiah adalah sunnah Nabi

Baiah ialah suatu perbuatan sunnah Nabi yang pernah diberikan oleh kaum Muslimin beberapa kali kepada Rasulullah s.a.w semasa baginda masih hidup seperti Baiah Aqabah 1, Baiah Aqabah 2,Baiah Ridhwan. Selepas kewafatan baginda para sahabat terus berbaiat kepada Ulil-Amri (Khalifah) mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah dari 'Ubadah bin Al-Samit yang menyatakan: "Rasulullah s.a.w telah memanggil kami, lalu kami pun memberi baiah kepada baginda... kemudian 'Ubadah berkata:

"Di antara perkara yang diminta kami berjanji ialah; Kami berjanji mendengar dan mentaati (Rasulullah s.a.w) dalam perkara yang kami sukai dan kami benci, dalam keadaan kami susah dan senang, tidak mementingkan diri sendiri, tidak membantah terhadap ketua dalam urusan-urusan kecuali kami melihat kekufuran terhadap Allah secara nyata dengan bukti yang terang dan jelas."
Sedangkan di dalam kitab : AR-RISALAH AL-‘ALIYAH, susunan Sayyidi Syekh Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi, An-Naqshbandi Al-Mujaddidi Al-Uwaisi, ‘Ufiya Allahu ‘Anhu Wali Walidaihi, diterangkan mengenai sejarah  bai’ah thoriqoh sebagai berikut ;

KETAHUILAH bahwa makna Bai‘ah adalah berjanji dan taat setia kemudian berpegang teguh dan tetap melaksanakannya. Berbai‘ah merupakan amalan Para Sufi yang mulia Rahmatullah ‘alaihim dan terus berjalan sehingga ke hari ini dan akan terus berjalan. Berbai‘ah juga merupakan Sunnah dan Tariqah Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.

Bai‘ah adalah menetapkan secara sadar hubungan di antara Mursyid dan Murid. Murid membenarkan Mursyidnya memberikan bimbingan kepadanya dan Mursyid menerima Murid sebagai Muridnya dan pengikutnya dalam mencapai peningkatan Ruhani menuju kepada maksud yang hakiki.

Perkataan Bai’ah berasal dari kata dasar Ba’a Bai’an Mabi’an yang berarti menjual dan perkataan ini biasa digunakan dalam istilah akad jual beli. Biasanya setelah menjual sesuatu, si penjual akan mengucapkan Bi’tu yang berarti “Saya menjual” dan pembeli pula mengucapkan Isytaraitu yang berarti “Saya membeli” dan ini mengisyaratkan kepada keredhaan kedua belah pihak.

Darikata dasar tersebut terbit pula kata Baya’a yang berarti membuat perjanjian atau biasa disebutkan sebagai Bay’at atau Bai’ah. Dalil Bai‘ah di dalam Al-Quran ada di dalam Surah Al-Fath ayat 10 yang mana Allah berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang berbai‘ah berjanji setia kepada kamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berbai‘ah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya maka akibat buruk akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada Nabi Muhammad, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dari melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Pada bulan Zulqaidah tahun keenam Hijriyyah Sayidina Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampainya di Hudaibiyah, Sayidina Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti dan mengutus Sayidina ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu terlebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan kaum Muslimin. Sayidina Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu‘Anhu, tetapi tidak juga datang kerana Sayidina ‘Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah ditahan oleh kaum Musyrikin, kemudian tersiar lagi khabar bahwa Sayidina‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah dibunuh, maka Nabi menganjurkan agar kaum Muslimin melakukan Bai'ah janji setia kepadanya. Mereka pun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.

Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 Surah Al-Fath, karana itulah disebut sebagai Bai'atur Ridhwan. Bai'atur Ridhwan ini menggetarkan kaum Musyrikin sehingga mereka telah melepaskan Sayidina ‘Utsman dan mengirimkan utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Sulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji denganAllah. Jadi seakan-akan Tangan Allah di atas tangan orangorang yang berjanji itu. Hendaklah dimengerti bahawa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.

Di dalam Surah Al-Fath ayat 18 Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman yang artinya :

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.”
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepada NabiMuhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam di bawah sebuah pohon dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya. Yang dimaksudkan dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum Muslimin pada perang Khaibar.

Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum berbai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam banyak keadaan. Ada yang berbai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjuang bersama-sama Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ada yang berbai‘ah untuk sama-sama menegakkan Rukun Islam, ada yang berbai‘ah untuk tetap teguh berjuang tanpa undur ke belakang dalam medan pertempuran jihad menentang orang kafir, ada yang berbai‘ah untuk tetap berpegang dan memelihara Sunnah, menjauhi bida‘ah dan berbai‘ah untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kaum wanita di kalangan Para Sahabat Radhiya‘anhum juga melakukan Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Terdapat bermacam-macam peristiwa Bai‘ah di zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Menurut Sayidina Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil terdapat beberapa bagian Bai‘ah yaitu:

1. Bai‘ah untuk taat setia kepada Khalifah.

2. Bai‘ah untuk menerima Agama Islam.

3. Bai‘ah untuk tetap teguh berpegang dengan Taqwa.

4. Bai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjihad.

5. Bai‘ah untuk tetap setia menyertai Jihad.


Menurut Sayidina Shah Abdullah Ghulam ‘Ali Rahmatullah ‘, terdapat 3 jenis Bai‘ah. Jenis yang pertama ialah apabila seseorang itu bertaubat pada tangan seorang yang suci dan berbai‘ah untuk meninggalkan perbuatan dosa, maka dosa-dosa besarnya juga akan turut terampun. Jika dia kembali melakukan dosa, maka dia perlu mengulangi Bai‘ah kali yang kedua yakni Bai‘ah ini boleh berlaku berulang-ulang kali.

Jenis Bai‘ah yang kedua ialah apabila seseorang itu berbai‘ah untuk mendapatkan Nisbat Khandaniyah yakni nisbat dengan sesuatu golongan atau kelompok bagi mendapatkan berita baik yang menjadi kekhususan bagi golongan tersebut. Di samping itu dia mengharapkan Syafa’at yang tidak terbatas menerusi golongan tersebut. Misalnya, seseorang itu berbai‘ah dengan Silsilah Qadiriyah supaya mendapatkan perkhabaran baik Sayidina Ghauts Tsaqilain Syeikh Abdul Qadir Jailani Rahmatullah‘alaih yang mana beliau telah berkata bahwa, “Para murid dalam Silsilahku tidak akan meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat.” Bai‘ah seperti ini tidak perlu dilakukan berulang-ulang.

Jenis Bai‘ah yang ketiga ialah apabila seseorang itu berniat untuk mengambil faedah dan istifadah dari sesuatu Khandan atau golongan. Jika seseorang itu telah berikhtiar dan berusaha untuk melaksanakan Zikir dan Wazifah Khandan tersebut secara ikhlas namun tidak berupaya melaksanakannya maka untuk dirinya, dengan kebenaran yang menjadi kebiasaan ialah hendaklah merujuk kepada siapa orang suci dari kelompok atau golongan yang lain dan berbai‘ah dengan Mursyid yang lain sama ada Mursyid yang sebelum itu ridha atau tidak. Akan tetapi tidak boleh sekali-kali menafikan kesucian dan kesalihan Mursyid yang terdahulu sebaliknya hendaklah beranggapan bahawa mungkin berkahnya tidak di sana.

Jika seseorang Murid mendapati Mursyid mengabaikan pengamalan Syari’at dan usul-usul Tariqat dan dirinya terikat dengan ahli-ahli duniawi dan mencintai dunia, maka hendaklah dirinya mencari Mursyid yang lain bagi menghasilkan limpahan Faidhz batin dan kecintaan serta Ma’rifat. Adapun, amalan mengulangi Bai‘ah memang ada berlaku di zaman Sayidina Baginda Rasulullah Salllallhu ‘Alaihi Wasallam, begitu juga di zaman Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in, Para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

Menurut Sayidina Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih bahwa mengulangi Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ada asas (dasar)-nya. Begitu juga melakukan Bai‘ah berulang-ulang dengan ahli-ahli Tasawwuf sama ada dengan dua orang Syeikh yang berlainan atau dua kali dengan Syeikh yang sama. Ini dilakukan karena wujudnya kecacatan pada orang yang menerima Bai‘ah itu yakni Syeikh tersebut, sama ada selepas kematiannya ataupun berpisah jauh serta putus hubungan secara zahir.

Adapun Bai‘ah yang dilakukan berulang-ulang kali tanpa sembarang sebab atau uzur maka boleh dianggap sebagai main-main dan hal ini boleh menyebabkan akan menghilangkan keberkatan dan menyebabkan hati Syeikh atau Guru Mursyid itu berpaling dari menumpukan perhatian keruhanian terhadapnya. Wallahu A’lam.

Sayidina Aqdas Maulana Muhammad ‘Abdullah Rahmatullah ‘alaih suatu ketika telah ditanyakan orang tentang apakah maksud Bai‘ah? Beliau lalu berkata, “Cobalah engkau lihat bahwa dengan adanya pengetahuan hukum-hukum Syariah dan urusan keagamaan pun orang tidak dapat berakhlak dan melakukan amalan Salih dengan baik, terdapat juga kebanyakan orang-orang Islam yang mengerjakan solat dan puasa tetapi masih tidak dapat menghindarkan diri dari kelakuan buruk seperti menipu dan berbohong serta mengumpat ghibat. Maksud utama Bai‘ah ialah supaya menghindarkan kelakuan yang buruk dan menggantikannya dengan melahirkan akhlak yang tinggi dan mulia, mendatangkan kemudahan untuk melakukan amalan Salih dan dengan sendirinya akan meninggalkan perbuatan maksiat.”

Hukum Bai‘ah adalah Sunat dan bukannya Wajib, karena manusia melakukan Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam atas tujuan Wasilah untuk tujuan Qurbah (mendakatkan diri) menghampirkan diri mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan atau tidak melakukan Bai‘ah adalah berdosa dan tidak ada Imam Mujtahidin yang menyatakan berdosa jika meninggalkan Bai‘ah.

Adapun hikmah melakukan Bai‘ah adalah amat besar sekali karana Allah melaksanakan peraturanNya dengan meletakkan dan menentukan beberapa perbuatan, amalan dan kata-kata yang bersifat zahir sebagai lambang bagi membuktikan ketaatan dan bagi menyatakan perkaraperkara yang bersifat Ruhaniah, halus dan tersembunyi di jiwa insan. Sebagai contoh, membenarkan dan mempercayai dengan yakin akan kewujudan Allah Yang Maha Esa dan Hari Akhirat adalah merupakan perkara ghaib, halus dan bersifat Ruhaniah, Maka Islam meletakkan pengakuan lidah atau ikrar sebagai lambang membenarkan kewujudan Allah dan Hari Akhirat yang bersifat Mujarrad dan halus.

Begitulah juga di dalam urusan Mu’amalat perniagaan dan jual beli yang mana ianya berasaskan keredhaan penjual dan pembeli untuk melakukan urusan perniagaan dan keredhaan itu adalah bersifat halus dan tersembunyi maka amalan akad Ijab dan Qabul menjadi sebagai lambang bagi menzahirkankeredhaan antara penjual dan pembeli. Demikian juga dalam melaksanakan Taubat, keazaman untuk berhenti dari melakukan dosa adalah bersifat halus dan Mujarrad lagi tersembunyi, oleh itu telah ditentukan oleh Allah menerusi amalan Sayidina Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum bahawa amalan Bai‘ah itu secara zahirnya adalah bagi melambangkan keazaman untuk bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa. Upacara Bai‘ah ini seharusnya dilakukan secara rahsia pada tempat yang rahsia kerana ianya merupakan suatu rahsia perjalanan yang rahsia bagi setiap Salik.

Pada hakikatnya Bai’ah adalah merupakan suatu akad jual beli antara kita dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kerana Dia telah berfirman di dalam Surah At-Taubah ayat 111,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar”.

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan ciri-ciri serta sifat-sifat mereka yang telah melakukan jual beli dengan Allah pada Surah At-Taubah ayat 112 yang berarti:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’aruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.”

Di dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan dengan lebih jelas akan ciri serta sifat orangorang beriman yang menyempurnakan akad jual beli antara dirinya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yakni mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang Mukmin itu. Maksudnya melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad.

Ada pula yang menafsirkannya dengan orang yang berpuasa yang sentiasa bertaubat dan melaksanakan amalan ibadah dengan baik dan sempurna, yang sering berziarah untuk tujuan Silaturrahim ataupun untuk bertemu dengan seseorang yang ‘Alim untuk tujuan mendapatkan ilmu ataupun menziarahi Para Auliya Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sebaik-baik ziarah adalah menziarahi Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinatul Munawwarah, yang mendirikan Solah dengan ruku’ dan sujud yang baik dan sempurna, yang menjalankan kewajiban Dakwah dan Tabligh dengan menyuruh manusia berbuat amalan kebaikan yang Ma’aruf dan berusaha mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang zalim dan mungkar serta senantiasa memelihara hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala sepertimana yang termaktub di dalam Al-Quran dan berpandukan Al-Hadits dan AsSunnah.

Dengan berusaha memelihara hukum-hukum Allah, mereka telah menafkahkan harta mereka dan menyerahkan diri mereka bagi menegakkan Kalimah Allah. Mereka berperang dengan Syaitan, Hawa, Nafsu dan Duniawi semata-mata kerana Allah sehingga mereka menghembuskan nafas yang terakhir. Maka mereka itu adalah golongan orang-orang beriman yang berada dalam tingkatan yang khusus dengan mendapat perkhabaran gembira dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka sebagai melengkapi syarat jual beli antara orang-orang beriman dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa Dia telah membeli diri mereka dan harta mereka dan Syurga adalah sebagai tukaran. Bai’ah merupakan akad bagi jual beli ini dan setelah kita berakad dengan akad Bai’ah ini, menjadi tanggungjawab kitalah untuk menyerahkan diri kita mentaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan RasulNya Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan membelanjakan harta kita menurut kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengikuti petunjuk RasulNya, Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/

Baca Selengkapnya ....

Adab Dzikir Sufi

Posted by Unknown Senin, 30 Desember 2013 0 komentar
Untuk melaksanakan dzikir di dalam thariqah ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni Adab Berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada fasal Adabudz-dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syekh Abdul Wahab Sya'rani.ra bahwa adab berdzikir itu banyak, tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum berdzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir dan 3 (tiga) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.

Adapun 5 (lima) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;

  • Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya baik yang berupa ucapan, perbuatan maupun keinginan.
  • Mandi dan atau wudlu.
  • Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam berdzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan La ilaaha illallah.
  • Menyaksikan dengan hatinya -ketika sedang melaksanakan dzikir ­terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
  • Meyakini bahwa dzikir thariqah yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah na-ib (pengganti) dari beliau.

Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan di saat melakukan dzikir adalah;

  • Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat.
  • Meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua pahanya.
  • Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula pakaian di badannya.
  • Memakai pakaian yang halal dan suci.
  • Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
  • Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.
  • Membayangkan pribadi guru mursyidnya di antara kedua matanya. Dan ini menurut Para ulama thariqah merupakan adab yang sangat penting. (rabithah)
  • Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) ataupun ramai (banyak orang).
  • Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan, seorang yang berdzikir akan sampai pada derajat Ash-Shiddi’qiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbersit didalam hatinya -berupa kebaikan dan keburukan­ kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti ia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan batiniyah).
  • Memilih shighot dzikir bacaan Laa ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar'i lainnya.
  • Menghadirkan makna dzikir di dalam hatinya.
  • Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata ”illallah” terhujam di dalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;

  1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu' dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzikr. Para ulama thariqah berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar daripada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
  2. Mengulang-ulang pernafasannya berkali-kali. Karena hal ini -menurut para ulama thariqah- lebih cepat menyinarkan bashi'rah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
  3. Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat) di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/Allah yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.

Para Guru Mursyid berkata: "Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tatakrama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan itu." Wallahu a’lam.

Keterangan:

Himmah para syaikh/guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.

Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thariqah satu dengan lain-nya, bahkan antara satu mursyid dengan lainnya dalam satu aliran thariqah. Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk didalam shalat (tawarruk dan iftirasy), ada yang dengan tawarruk dibalik artinya kaki kanan yang dimasukkan dibawah lutut kiri, ada yang dengan duduk murobba' (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat dibai’at oleh mursyidnya. Oleh karena itu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru mursyidnya masing-masing.


Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim disebut "rabithah" atau "tashawwur" bagi seorang murid thariqah. Hal tersebut lebih berfaidah clan lebih mengena daripada dzikirnya itu. Karena syaikh adalah washillah/ perantara untuk wushul ke hadirat Sang Maha Haq 'azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah-anugerah dalam bathiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu dia akan sampai pada fana'/lebur pada Allah ta'ala. Wallahu a'lam.


Yang dimaksud dengan waridudz-dzrkr adalah adalah segala sesuatu yang datang/muncul di dalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.


Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/

Baca Selengkapnya ....

Dzikir Kaum Sufi

Posted by Unknown Sabtu, 28 Desember 2013 0 komentar
Yang dimaksud dzikir di dalam thariqah adalah bacaan "Allah" atau bacaan "Laa ilaaha illallah". Dzikir dengan bacaan 'Allah'; yang biasanya dilakukan didalam hati, disebut dengan Dzikir Sirri atau Dzikir Khofi atau Dzikir Ismuz-Dzat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sedang dzikir dengan bacaan 'Laa ilaaha illallah'; yang biasanya dilakukan secara lisan , disebut Dzikir jahri atau Dzikir Nafi Itsbat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah. Kedua jenis dzikir dari kedua sahabat inilah yang menjadi sumber utama pengamalan thariqah, yang terus menerus bersambung sampai sekarang, kepada kita semua.


Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir "Laa ilaaha illallah" dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya. Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW (Silsilah/Mata Rantai). Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin/Ba'iat dan ta’lim (belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqoh, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan faedah yang sempurna, kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.

Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai'at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai'at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai'at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai'at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai'at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari'at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukannya kepada jama'ah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW telah mentalqin para sahabatnya, baik secara berjama'ah maupun perorangan.

Adapun talqin Nabi SAW kepada para sahabatnya secara jama'ah sebagaimana diriwayatkan dari Syidad bin Aus RA: "Ketika kami (para sahabat) berada di hadapan Nabi SAW, beliau bertanya: "Adakah di antara kalian orang asing?" (maksud beliau adalah ahli kitab), aku menjawab: "Tidak." Maka beliau menyuruh untuk menutup pintu, lalu berkata: "Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah!" Kemudian beliau melanjutkan: "Alhamdulillah, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini (La ilaaha ilallah), Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku surga karenanya. Dan sungguh Engkau tidak akan mengingkari janji." Lalu beliau berkata: "Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian."

Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwany dengan sanad yang sahih bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, tunjukkan aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi para hambaNya dan yang paling utama di sisiNya!" Maka beliau menjawab: "Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah Laa illaaha illallaah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada diatas daun timbangan dan Laa illaaha illallaah diatas daun timbangan satunya, maka akan lebih beratlah ia (Laa illaaha illallaah),"  lalu lanjut beliau: "Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi masih ada orang yang mengucapkan kata Al­lah." Kemudian Sahabat Ali berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut Allah?," Beliau pun menjawab: "Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya." Kemudian Nabi SAW mengucapkan Laa ilaaha illallah tiga kali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu Sahabat Ali bergantian mengucapkan Laa illaaha illallaah seperti itu dan Nabi SAW mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (Laa illaaha illallaah).

Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa menggerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadh Ismudz-Dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW dengan sabdanya: "Qul Allah tsumma dzarhum" (Katakan "Allah" lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-­Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA) yang mengambilnya secara batin dari Al-Mushthofa SAW. Inilah dzikir yang bergaung mantap di hati Abu Bakar. Nabi SAW bersabda: "Abu Bakar mengungguli kalian bukan dikarenakan banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap di dalam hatinya." Inilah dasar talqin dzikir sirri.

Semua aliran thariqah bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada Sayyidina Ali karramallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka kedua beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang. Nabi SAW mentalqin kalimah thoyyibah ini kepada para sahabat radliallahu 'anhum untuk membersihkan hati mereka clan mensucikan jiwa mereka, serta menghubungkan mereka ke hadirat Ilahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni. Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimat thoyyibah ini atau Asma-asma Allah lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali apabila si pelaku dzikir menerima talqin dari syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim terhadap makna Al-Qur'an dan syari’ah, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam hal 'aqidah dan ilmu kalam, dimana syekh tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikh agung yang satu dari syaikh agung lainnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Sumber :https://sites.google.com/site/pustakapejaten

Baca Selengkapnya ....
Buat Email | Copyright of Sepirit Sepritual Blog.